Sabtu, 30 April 2016

Apa Gunanya Membaca?

Banyak kerisauan setelah membaca. Sering muncul pertanyaan pada diri sendiri, apa yang saya dapat dari membaca? Itu sulit dihindari sebab pasti ada bagian dari bacaan yang terlupakan. Bahkan kata-kata yang telah dieja secermat mungkin, menghilang begitu saja setelah dibaca. Seakan-akan tak ada pengetahuan yang terukir di ingatan setelah membaca. Hasil bacaan pun tak mampu diutarakan kembali kepada orang lain. Akhirnya, membaca terasa tak ada gunanya.
 
Karena alasan bahwa hanya secuil pengetahuan yang melekat dalam memori pasca membaca, secara langsung, akan berujung pada keengganan membaca. Bahkan timbul penyesalan sebab begitu banyak buku telah terbaca, namun tak menunjang pada pembuktian tingkat pengetahuan. Membaca tak meningkatkan kecakapan berbicara, apalagi menulis. Membaca lalu dirasakan sebagai kesia-siaan belaka.

Kalau benar bahwa membaca tak memberikan dampak positif secara nyata, lalu apa gunanya membaca? Berdasarkan refleksi Penulis secara pribadi, berikut ini beberapa tingkatan manfaat membaca yang mungkin dapat direnungkan agar minat membaca tetap bertahan, bahkan meningkat. 

Mendidik Diri 

Inilah tingkatan pertama dari manfaat membaca. Setiap pembaca, tanpa sadar, akan terilhami banyak pelajaran makna dari bacaannya. Tanpa perlu mempersoalkan kemampuan mengelaborasi substansi bacaan setelah membaca, yang jelas, selalu ada pendidikan batin yang diperoleh dari aktivitas membaca. Pelajaran itu, sadar atau tidak, akan terwujud dalam perilaku pembaca.

Manfaat pada tingkatan ini diperoleh seseorang sebab tujuan membaca memang hanya untuk mendapatkan pelajaran berharga bagi dirinya sendiri. Membaca diharapkan mendatangkan kegunaan praktis dalam kehidupan. Misalnya seseorang membaca kisah inspiratif hanya untuk diteladani secara pribadi.

Menambah Pengetahuan

Tingkat manfaat selanjutnya dari membaca adalah menambah pengetahuan. Seseorang yang gemar membaca dan melakukannya secara serius, akan mampu menambah pundi-pundi pengetahuan di memorinya. Ia akan memiliki pengetahuan tentang banyak hal, tanpa perlu mempersoalkan apakah pengetahuannya terstruktur dan mendalam, atau tidak. Pengetahuan tingkat ini kadang sekadar tahu, bukan memahami.

Pada tingkatan ini, seseorang akan mampu menjawab pertanyaan sederhana dengan menggunakan pengetahuan dari hasil bacaannya. Meski begitu, pengetahuan tersebut, serupa dengan bacaannya. Imbasnya, akan timbul kewalahan jika dihadapkan pada pertanyaan yang membutuhkan penjelasan rumit. Pembaca di tingkat ini belum mampu mengelaborasi ataupun mengkolaborasikan sejumlah pengetahuan dari bacaannya. Misalnya seseorang membaca sejarah sehingga mampu menghafal aktor-aktor sejarah, tapi tak mengerti tentang latar belakang peristiwanya.

Mengasah Imajinasi

Tingkatan manfaat membaca ini, lebih tinggi ketimbang dari sekadar menambah pengetahuan. Di sini, seorang pembaca telah memahami betul pengetahuan yang diperoleh dari membaca. Ia pun mampu mengembangkannya untuk menghasilkan pengetahuan baru. Ia sadar bahwa pengetahuan dari hasil membaca tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu dikritisi.

Pada tahap ini, pembaca tidak sekadar memperoleh pengetahuan umum dari sebuah bacaan, tapi mampu memahami cerita dan maknanya secara mendalam. Ia kritis melakukan perbandingan pengetahuan dari bacaan-bacaannya. Membaca ditujukan untuk memperoleh hakikat pengetahuan. Hasilnya adalah sebuah konklusi berupa pengetahuan baru, buah pikirnya sendiri. Karena kedalaman pengetahuanya, si pembaca pun handal dalam berpidato, berdiskusi, dan berdebat. 

Bekal Menulis

Inilah tingkatan tertinggi manfaat membaca. Alasannya karena pembaca tidak sekadar ingin mengetahui dan memahami isi bacaan, tetapi juga berupaya menciptakan bacaan baru tentang hasil pemikiran kritisnya sendiri. Ia tak sekadar mencari pengetahuan, tapi menciptakan pengetahuan baru untuk disebarluaskan. 

Membaca di tingkatan ini tidak hanya mendalami substansi bacaan, tetapi juga mengidentifikasi teknik penulisan dalam sebuah bacaan sebagai referensi dalam menulis. Pengetahuan dan pemahaman seseorang dari aktivitas membaca tidak sekadar disimpannya di dalam benak ataupun diwujudkan dalam bentuk verbal atau perilaku, tapi diwujudkan dalam bentuk tulisan. Membaca adalah untuk menulis, sebagaimana pepatah penulis yang baik adalah pembaca yang baik.


Demikianlah beberapa manfaat dari aktivitas membaca. Tingkatan itu dapat dijadikan rujukan untuk merefleksikan diri seseorang telah berada di tingkatan mana. Meski begitu, bukan berarti bahwa seseorang hanya bisa berada pada satu tingkatan tertentu, sebab bisa jadi seorang pembaca mampu meraih beberapa tingkatan manfaat, atau bahkan semuanya. 
 
Teruslah membaca dan menulis.

Jumat, 29 April 2016

Kisah Paling Romantis

Sejak mengenalmu, aku mulai memendam rasa dari waktu ke waktu. Sudah sejak lama. Itu urusanku sendiri. Kau tak perlu tahu. Pastinya kau tak akan tahu. Semua tingkah lakuku, abai tentangmu. Prinsip nonkotradiksi logika, tak berlaku pada caraku mengagumimu. Aku menginginkanmu, tapi aku ingin kau menjauhiku. Aku ingin membuatmu bahagia, tapi memuji saja, aku tak mau. Aku tak memedulikanmu, sekaligus merasa orang paling peduli padamu.
 
Mungkin kau tak pernah berencana mengingat peristiwa berkesan tentang kita. Salah satunya saat kau memenangi lomba karya tulis ilmiah. Kala itu, teman segeng kita di kampus memberimu kata-kata selamat yang terkesan membual. Aku sama sekali tak berselera meniru mereka. Bukan berarti aku menganggapmu tak layak menjadi pemenang. Aku hanya tak yakin kau akan merasa pujianku berharga. Sulit membayangkan kau tersanjung kegirangan karenaku, sebagaimana yang lain juga. Paling kau hanya berterima kasih dengan senyuman terpaksa.

Pernah juga saat kali pertama kau mengenakan kacamata. Teman-teman kita sontak melemparkan pujian bahwa kau tampak menawan. Aku malah tak berhasrat mengomentarimu. Walaupun kata-kata mereka melebar ke unsur-unsur kerupawananmu yang lain, itu tak merisaukanku. Aku memilih tak peduli. Aku yakin tak akan ada pujian yang berarti bagimu. Selain dirimu, tak ada yang tahu siapa pemilik pujian yang mampu menggetarkanmu. Karena itu, melontarkan pernyataan saja, semisal wah, kamu sudah pakai kecamata ya, aku tak ingin.  

Sampai pada hal sepele yang telah dianggap lumrah dan tak akan menampakkan perasaanku padamu, aku juga tak ingin melakukannya. Aku tahu kau doyan mengunggah status di media sosial. Isinya kebanyakan bukan tentang curahan hatimu, tetapi tentang pengetahuan atau nasihat-nasihat bijak. Itu adalah kesempatan emasku memberimu pujian jika memang halanganku menyatakan perasaan adalah rasa malu. Tapi bukan karena itu aku bungkam. Akhirnya, untuk mengklik ikon suka pada statusmu saja, aku tak sudi, apalagi untuk mengomentarinya.

Sekali lagi, bukan tanpa alasan aku enggan menampakkan sedikit pun kesanku padamu. Kurasa, kau terlalu baik untuk dipermainkan. Apalagi, kau juga tak akan takluk oleh gombalan. Kalau pun narsisku meningkat dan yakin ada celah untukku menggelitik perasaanmu yang membeku, masih kurasa tidak perlu melakukannya. Aku tak ingin kau terbuai dalam angan-angan karenaku. Aku tak mau merenggutmu sebelum waktunya. Nanti saja, pujian terbaik akan kulontarkan jika itu bukan gombalan lagi. Itu pun kalau kau ditakdirkan bersamaku.

Sebenanarnya, modalku tak benar-benar kosong untuk mendapatkan perhatianmu. Meski mungkin aku keok pada banyak segi dibanding lelaki lain, tapi kelihaianku bermaian musik kikira membuatmu berpikir berat menolakku. Apalagi sudah menjadi keyakinan umum kalau kelemahan perempuan terletak di telinganya, sedangkan kelemahan lelaki di matanya. Aku jelas takluk dengan tampakanmu. Tapi aku tak yakin kau akan tersentuh mendengar senandungku. Jadinya, aku tak akan melantunkan sebuah lagu pun di hadapanmu, kecuali di sisi gelap kamarku yang sunyi.

Ringkas kata dari apa yang sebelumnya kuutarakan: aku tak ingin kau menyukaiku. Dalam sadar ataupun ketidaksadaranku, aku tak ingin ada sikapku yang mempermainkan perasaanmu. Apalagi, aku juga tak berhasrat seperti orang lain yang membanggakan kenangan masa lalunya yang murahan. Sama sekali tak menarik bagiku menjadi penakluk perasaanmu, hanya untuk membuktikan akulah yang terhebat di antara lelaki. Aku sama sekali tak bercita-cita memajang fotomu di ruang masa laluku, kelak. Apalagi menyombongkan kepada khalayak bahwa kau ada di sederet wajah yang takluk di bawah rayuanku. 

Biarkanlah takdir bekerja dalam waktu. Jika suatu saat kita bersama, maka rasa dalam senyap ini akan menjadi bahan nostalgia. Kita akan mengenang betapa indahnya cara Tuhan menyibak rahasia-Nya tentang kita. Jika pun kau bersama yang lain, setidaknya kau tak perlu memikirkanku. Tak akan ada kenangan yang menjebak kita. Itulah caraku. Kau tahu cara paling tak adil dalam mencintai? Yaitu ketika seseorang membenci kita hanya karena perbandingan. Dia tak ada alasan menerima kekurangan kita, karena ia melihat kelebihan orang lain. Ia lebih suka larut dalam masa lalu yang dirasanya indah, ketimbang menjalani masa depan bersama-sama. Sungguh!

Dan seiring waktu, akhirnya, kau kini tak lagi seperti yang dulu. Belakangan, unggahan statusmu tak lagi muncul di media sosial. Duniamu nyata, tak lagi maya. Kau benar-benar hilang dari pemantauan orang-orang. Tapi tidak bagiku. Kau masih dalam duniaku. Kau bahkan dalam kendaliku. Kita sama-sama bisa mengendalikan satu sama lain. Ya, dari sekian dugaanku tentang akhir kisah kita, ternyata keraguankulah yang menjadi kenyataan. Kini, kita benar-benar bersama dalam ikatan cinta sejati.

Kebersamaan kita adalah hadiah terindah. Jauh-jauh hari sebelumnya, aku tak pernah yakin akan memilikimu dalam kenyataan. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri memintamu menikah denganku. Caraku itu kurasa paling tepat. Aku tak ingin sekadar menyukaimu. Aku ingin mencintaimu. Bagiku, cinta adalah nikah. Terus terang, aku menyukai wajahmu yang elok. Tapi suatu saat, waktu akan memudarkannya. Jika karena suka itu, aku pastilah meninggalkanmu suatu saat. Tapi semua itu tak akan terjadi, sebab sekarang, aku benar-benar mencintaimu, atas nama Tuhan. Ikatan kita lahir dan batin. Tak akan lekang oleh waktu. 

Cara kita mencintai, tak berbeda. Pandanganmu ternyata serupa denganku. Tentang kita, haruslah disatukan dalam cinta yang sesungguhnya. Terikat dalam batin yang suci. Tak perlu semua orang tahu. Setiap orang punya kehidupan cinta masing-masing. Tak perlu saling menilai. Jelas itu berbeda dengan prinsip kebanyakan orang di zaman anomali ini. Mereka gemar mengunggah foto keberduaan mereka yang murahan di media sosial, hanya untuk menunjukkan kebersamaan mereka yang sebenarnya penuh kehampaan. Mereka berharap mendapat pujian palsu dari kepalsuan mereka.

Sekali lagi, tak usahlah kemesraan digembar-gemborkan. Cinta bukan untuk dipamer. Jelas bahwa merekalah yang berhak, yang paling merasakan tentang rasa kebersamaan. Tak perlulah diumbar-umbar, apalagi hanya untuk memancing rasa iri dan amarah dari orang-orang yang pernah berhasrat mendapatkan kita. Kurasa memang tak perlu, sebab kita tak punya sosok di masa lalu yang pantas untuk disampahi. Cinta kita, hanya tantang kita berdua, aku dan kamu, selamanya.

 “Bagaimana bisa cara kita mencintai persis sama?” tanyaku, sambil tetap fokus pada layar ketikan. Jariku mulai lambat merangkai huruf di balik tombol-tombol laptopku. 

“Aku pernah membaca tulisan ceritamu. Itu membuatku sependapat denganmu tentang bagaimana cinta yang sesungguhnya,” jawabmu, setelah sedari tadi bersusah payah menawarkan skenario ending untuk cerita yang kutuliskan. 

“Tulisan yang mana? Perasaan, aku tak pernah menulis tentang persoalan cinta,” tegasku sambil bertanya-tanya pada diri sendiri. Aku jelas ingin segera mengetahui cerita yang kau tuduhkan. Karena itu, aku sepaham denganmu untuk segera menamatkan rangkaian tulisan ceritaku yang terlanjur kepanjangan.

“Kau memang belum pernah menulisnya. Kau sedang menulisnya sekarang. Judulnya: Kisah Paling Romantis,” balasmu setelah lama termenung, meniruku. 

Syukurlah, kau mengerti bahwa aku sedang berpikir keras merangkai judul. Aku menyetujui saran judulmu. Kuketik segera dengan penuh semangat. Itu kurasa sangat pas untuk pesan yang ingin kusampaikan. 

“Lalu, siapa kau?” tanyaku lagi, sambil berusaha meneguhkan keyakinan bahwa semua ini benar-benar nyata.

“Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah dirimu yang kesepian. Aku adalah kau yang sendiri. Sadarlah, tak akan ada yang mau mengerti dan sependapat dengan pandanganmu tentang cinta. Semua yang kau pikir tentang cinta sejati itu, hanya ilusi. Kau tak akan menemukannya dalam dunia nyata,” jawabmu, persis seperti jawabanku sendiri. Ya, aku. 

Aku adalah kau. Kau adalah aku.

Lalu? Tamat.  

Kamis, 28 April 2016

Perempuan untuk Ayah

Setiap pagi, Taslim tak sempat lagi duduk di taman sambil menyeruput kopi hitam. Tak ada lagi waktu untuk mengamati detail berita di koran harian. Damainya sinar matahari pagi dan kicau burung liar yang bertandang di pepohonan sekitar rumahnya, juga tak lagi ia nikmati. Setiap pagi, ia harus bangun lebih cepat. Sejumlah pekerjaan kecil nan rumit, menanti. Mulai dari membersihkan rumah, memasak, menyetrika baju, sampai mempersiapkan perlengkapan sekolah untuk anak semata wayangnya, Dila.
 
Taslim kini adalah seorang kepala keluarga, merangkap jadi ibu rumah tangga. Ia berpisah dengan istrinya dua tahun lalu, saat umur Dila masih setahun. Hidupnya jelas tak akan serepot sekarang jika saja istrinya masih ada. Sang istri, adalah sosok yang bertanggung jawab. Ia tak pernah sekali pun mengeluhkan urusan pekerjaan rumah. Ia jelas istri sekaligus ibu yang baik.

Kini, Dila, buah cinta Taslim bersama sang istri, mulai kesepian dan merundukan sosok ibu. Berjalan setahun di taman kanak-kanak, membuatnya mengerti bahwa seorang gadis kecil sepertinya, seharusnya punya sosok yang bisa dipanggil ibu di mana pun. Ia jelas iri melihat teman-temannya yang selalu diantar-jemput ibu mereka ke tempat belajar setiap hari. 

“Ayah, apakah aku memang tak punya ibu?” tanya Dila pada ayahnya.

Pertanyaan itu mengejutkan Taslim yang tengah membersihkan rerumputan halaman rumah. Dila tak pernah mempertanyakan persoalan ibu selama ini. Taslim pun jadi kelabakan menyusun kalimat yang tepat untuk memberikan penjelasan sederhana kepada anak kecilnya. Ia tak mungkin menjelaskan panjang lebar tentang kisah cintanya bersama sang istri. Itu dapat membuat Dila kebingungan, atau malah sedih tak berujung.

Taslim mendekati anaknya yang tengah duduk di anak tangga rumah panggung mereka. “Ibu kamu sudah tidak ada Nak. Dia sudah pergi. Tapi kau jangan khawatir, Ayah masih ada kok,” balasnya, sambil membelai rambut Dila yang sedikit berombak. 

Dila yang dasarnya periang, hanya murung sedari tadi. Ia terlihat lesu, menunduk, sambil mengelus-elus kucing kesayangan yang di pangkunya. Jawaban ayahnya seperti tak berhasil melenyapkan kegalauannya. 

“Yang pasti, dulu, Ibumu sangat sayang padamu. Ia juga sangat cantik. Sangat mirip denganmu Anak manis…!” seru Taslim, sambil menjewer pipi tembem Dila. Ia mencoba menghibur anaknya.

Cara Taslim sepertinya berpengaruh. Dila mulai tersipu. Senyumnya lalu merekah, sampai tampak dua gigi seri atasnya tanggal. 

“Tapi, aku ingin ibu Ayah. Aku malu-malu ke sekolah tanpa seorang ibu. Teman-temanku semua punya ibu, sedangkan aku hanya punya Ayah,” tutur Dila dengan setengah risau. “Apa suatu saat Ibu akan kembali?”

Dila akhirnya melontarkan pertanyaan yang dielakkan Taslim selama ini. Itu sulit dijawabnya. Jika ia bercerita sejujurnya, si anak pasti akan merengek agar ibunya segera kembali. Tapi jika ia berbohong, ia takut anaknya itu tidak akan memercayainya lagi, sekali pun. Dan akhirnya, ia menutupi kebenaran untuk saat ini. Ia takut Dila terlalu berharap ibunya akan kembali suatu saat, padahal kemungkinan itu terasa mustahil.

“Ayah kan sudah bilang, Ibumu telah pergi,” tutur Taslim sambil memandangi bola mata Dila yang tampak berair. “Kau mungkin tak bertemu Ibumu di dunia, tapi semoga Tuhan mempertemukanmu di surga. Sudah, kamu tak usah sedih.”

Di balik tutur Taslim, sebenarnya, tak ada yang benar-benar pergi untuk meninggalkan. Dia dan istrinya masih sedunia. Perpisahan bukanlah keinginan Taslim ataupun istrinya. Mereka saling mencintai. Restu ibu mertuanyalah yang menjadi akar masalah. Kehidupan Taslim dalam keterbatasan daya ekonomi, menjadi alasannya. Padalah untuk kategori lain, Taslim jelas sosok suami dan ayah idaman. Ia punya perilaku terpuji, soleh pula. Tapi itu tak pernah dianggap cukup.

Demi cinta, mereka akhirnya pergi sejauh mungkin, ke sebuah desa di pulau lain, tempat Taslim dan Dila sekarang. Mereka pun menikah di bawah tangan. Kehidupan mereka setelah itu, berjalan baik-baik saja dan membahagiakan. Sampai tahun kedua pernikahan, mereka akhirnya dikaruniai seorang anak. Tapi kehadiran cucu itu, tak juga membuat hati ibu mertunya luluh. 

Setahun kemudian, ibu mertua Taslim sakit parah. Sang istri pun harus memilih di antara dua pilihan yang berat: tinggal demi anak dan suaminya, atau pergi demi ibu kandungnya sendiri. Dan akhirnya, ia memilih pulang ke kampung halaman orangtuanya. Pergi jauh, meninggalkan Taslim dan buah hati mereka. Sampai saat ini, ia pun tak pernah kembali lagi.

Di tengah kalut perasaan mereka berdua, sirine penjual es krim terdengar. Taslim mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia mengajak Dila untuk membeli sekerucut es krim coklat favoritnya. Jika cara itu mujur, ia akan lupa masalah tentang ibu.

Mereka bedua lalu duduk pada kursi deret taman, di bawah pepohonan rindang. Taslim yakin Dila tak akan lagi membahas tentang ibu.

“Ayah, aku punya guru perempuan yang sangat baik. Aku selalu menganggap ia seperti ibu kandungku sendiri. Ia juga tak keberatan kalau aku memanggilnya mama. Aku rasa, jika saja Ibu masih ada, dia pasti sesayang itu padaku,” tutur Dila dengan raut wajah cerianya.

Pernyataan itu membuat Taslim terperangah. Ia tak menyangka perhatian anaknya masih tergantung di pembahasan sebelumnya. Tapi ia bersyukur, Dila tak lagi tampak sedih. 

“Dia juga memiliki nama yang mirip dengan namaku. Kalau aku Adila Mariska, dia Akila Mariska Ruz,” tutur Dila, lagi.

“Apa? Siapa namanya, Nak?” tanya Taslim terbata-bata. Matanya terbelalak. Tangannya kaku dan bergetar memegang cangkang es krim.

“Akila Mariska Ruz, ayah,” tegas Dila. “Memangnya kenapa? Ayah mengenalnya?”

Nama itu jelas terpahat di memori Taslim. Ia jadi tak bisa menampik untuk menduga-duga. Nama yang terdiri dari tiga kata dengan dua belas huruf, tentu punya beragam kemungkinan kombinasi suku kata. Tapi, Dila terang mengeja kata A-ki-la Ma-ris-ka Ruz. Itu persis dengan sebuah nama yang dikenalnya sejak lama. Nama seorang wanita yang pernah sehidup dengannya. Wanita itu jugalah yang memberikan nama untuk gadis kecilnya.

“Ayah kok diam saja?” Dila mulai heran, tapi tak benar-benar tahu apa yang terjadi.

Taslim memaksa diri merespons sewajarnya. Ia tak ingin pertanyaan mendetail meluncur bertubi-tubi dari mulut mungil sang anak. “Di daerah sini kan cuma ada beberapa orang Nak. Mungkin saja aku mengenalnya. Tapi entahlah,” balasnya.

“Eh, Ayah, katanya, dia juga tidak punya suami,” tutur Dila dengan raut wajahnya yang mengemaskan. “Kapan-kapan, aku ingin memperkenalkan ayah padanya. Bisa kan Ayah?” 

Ajakan itu sangat menantang Taslim. Tapi untuk sementara, agar anaknya tak cemberut lagi, Taslim pun menganggukkannya.

Selasa, 26 April 2016

Perempuan dalam Arus Emansipasi

Tanggal 21 April adalah hari yang spesial untuk kaum perempuan. Di waktu itulah, pada tahun 1879, Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Hari itu lalu diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini, sebuah moementum untuk mengenang jasa pahlawan emansipasi wanita itu. Warga seantero Nusantara senantiasa marayakannya melalui perefleksian jasa Kartini pada keadaan perempuan Indonesia kekinian. Sejumlah obrolan di media cetak maupun elektronik, berlomba-lomba mengulas kembali kontribusi perempuan dalam kehidupan bernegara dari masa ke masa. 

Jasa Kartini memang sulit dilupakan, terutama dalam upayanya mewujudkan kesetaraan gender. Kartini seakan jadi lilin kecil dalam ruang gelap gulita kaum perempuan Indonesia. Meski lahir di masa tradisi paternalistis mendominasi, bahkan dalam keluarganya sendiri yang tergolongan priyayi, ia tetap teguh berjuang demi mengangkat derajat dan martabat perempuan. Ia berani berpikir dan bersikap untuk melawan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. “Perberontakan” Kartini itu terabadikan dalam tulisannya lewat aksi surat-menyurat dengan kawan penanya di Belanda. Tulisannya itu kini selalu menjadi rujukan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan dengan kaum lelaki. 

Atas jasanya, di Indonesia, kata emansipasi kini lekat dengan Kartin. Ia adalah “peletak batu pertama” dalam upaya mendobrak stigma bahwa perempuan hanyalah pelengkap kaum lelaki. Kejernihan pemikirannya telah menawar sistem kultural kuno yang mendudukkan perempuan sebatas dalam urusan domestik rumah tangga. Ia menjadi cermin untuk melawan diktum adat istiadat yang mengerangkeng kaum perempuan. Lewat gagasannya tentang emansipasi, perempuan di masa kini telah bisa mengecap kehidupan bernuansa kesetaraan, sebagaimana kaum lelaki, dalam segala persoalan.

Mungkin saja Kartini tak pernah menyangka bahwa gagasannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Ia mungkin juga tak pernah meyakini bahwa perempuan zaman sekarang, telah hidup secara merdeka di samping kaum lelaki. Mungkin ia tak pernah membayangkan bahwa suatu saat, akan ada perempuan yang menjadi hakim, bos perusahaan, bahkan presiden. Apalagi jika mengingat bahwa pemikirannya sangatlah sederhana. Ia hanya ingin perempuan mendapatkan hak-hak sosialnya sebagai manusia. Bisa dikatakan, perkembangan emansipasi melampauai dugaan Kartini di zamannya.

Perlindungan Hukum bagi Perempuan

Menilik upaya perlindungan terhadap perempuan saat ini, tampak bahwa pemenuhan hak-hak perempuan telah terjamin dengan baik. Sudah banyak aturan hukum yang diciptakan khusus untuk melindungi perempuan sebagai kaum yang rentan terhadap tindak diskriminasi dari kaum lelaki. 

Di tataran internasional, pada tahun 1979, Majelis Umum PBB telah melahirkan Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang alih bahasannya berarti Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia pun telah meratifikasinya  sejak tahun 1984 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Konvensi itu menjadi instrumen hukum internasional yang menekankan kepada setiap negara anggota yang telah meratifikasinya, untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Bahkan, konvensi ini juga melindungi hak istimewa kaum perempuan sebagaimana kodratnya, misalnya hak-hak perempuan karena hamil dan melahirkan.

Dalam lingkup nasional, juga telah banyak instrumen hukum yang dibuat untuk melindungi kaum perempuan dari tindak diskriminasi dan kekerasan. Misalnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang jelas ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan. Dalam upaya melindungi dan menjamin terpenuhinya hak perempuan, juga dibentuk sejumlah kelembagaan negara, semisal Kemanterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Tidak berhenti sampai pemberian perlindungan, aturan hukum nasional pun telah banyak yang dirancang khusus mewujudkan kesetingkatan kaum perempuan dengan laki-laki. Di bidang politik, misalnya, diamanatkan pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai politik, sebagaimana amanah UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU. No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 

Ketentuan di atas diikuti oleh UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU tersebut menetapkan bahwa daftar bakal calon anggota legislatif yang disusun partai politik harus memenuhi sedikitnya 30% keterwakilan perempuan. Tujuan aturan tersebut adalah untuk memberikan jaminan terakomodirnya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, agar nantinya, mampu mewakili aspirasi kaumnya yang selama ini dianggap terabaikan.

Keberhasilan Emansipasi

Pada dasarnya emansipasi tiada lain adalah persamaan hak di berbagai aspek kehidupan. Persamaan berarti memberi hak yang setara, tanpa ada diskriminasi. Dalam konteks emansipasi wanita, berarti perempuan harus diberikan peluang yang sama dengan kaum lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh karena itu, tujuan gerakan emansipasi wanita adalah mewujudkan kesetaraan akses bagi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan secara adil.

Tingkat keberhasilan perjuangan emansipasi wanita, harus dilihat dari tingkat keterbukaan ruang publik untuk keterlibatan kaum perempuan, bukan dengan melihat data kuntitatif tentang jumlah kaum perempuan dalam bidang tertentu. Emansipasi sudah dianggap tercapai bila dalam segala aspek kehidupan, perempuan tidak lagi ditempatkan sebagai pihak yang dinomorduakan. Untuk itu, jika secara nyata, perempuan diberikan kebebasan untuk berpartisipasi dalam ruang publik, tanpa adanya diskriminasi, maka kesetaraan atau emansipasi sejatinya telah tercapai.

Kesetaraan dalam konteks emanspasi wanita, bukan berarti sama secara kuantitatif dengan laki-laki. Kesetaraan dalam konteks itu harus diartikan sebagai terwujudnya keadilan untuk terlibat dalam ruang publik. Ini berarti bahwa kesetaraan perempuan dengan lelaki, tidak boleh dihitung secara matematis, semisal membandingkan jumlah perempuan dengan laki-laki dalam jabatan publik. Kesetaraan dalam emansipasi berarti memberi peluang yang sama, dengan tetap menghormati kekhususan kaum perempuan menurut kodratnya sebagai kaum perempuan.

Penjatahan kuota perempuan dalam urusan publik, semisal dalam kepengurusan partai politik, bukanlah konsep yang bijak. Penjatahan yang bahkan dipaksakan untuk terpenuhi itu, pada dasarnya telah melenceng dari semangat emansipasi. Hal itu karena secara tidak sadar, kedudukan perempuan telah dikultuskan di atas kaum lelaki. Selain itu, emansipasi dalam tafsiran itu, juga bukan lagi terkait kerelaan untuk berpartisipasi, tetapi dupayakan dengan paksaan melalui aturan formal.

Pengkhususan kaum perempuan dalam berbagai produk hukum, seyogianya tidak perlu terjadi. Pengkhususan malah menimbulkan stigma laten bahwa perempuan memang makhluk yang lemah tak berdaya. Selayaknya, aturan hukum cukup jika menjamin bahwa semua proses dalam segala aspek kehidupan berbangsa, tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Masalah apakah perempuan masih minoritas dalam jabatan publik atau tidak, itu seharusnya tak perlu dipersoalkan.

Dilansir di www.beritasatu.com, proporsi keterwakilan perempuan di badan legislatif tidak mencapai 30%. Bahkan jumlahnya mengalami penurunan dari 18,2% pada tahun 2009 menjadi 17,3% di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6% tahun 2009 menjadi 37% pada 2014. Pemilu Legislatif tahun 2014 hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.

Tidak tercapainya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di bidang publik, khususnya di badan legislatif menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih perlu ditingkatkan. Meski demikian, kenyataan itu tidak berarti bahwa emansipasi belum berarti apa-apa, sebab secara nyata, akses untuk keterlibatan perempuan telah terbuka lebar, bahkan dilindungi secara hukum. Kendala tidak terpenuhinya kuota tersebut tidak lain karena pemilih secara nyata tidak melihat jenis kelamin dalam memilih, tetapi melihat pada kapabelitas dan integritas calon. Untuk itu, perbaikan kualitas pemimpin lebih baik daripada meributkan soal perbandingan kuantitas berdasarkan jenis kelamin.

Sudah seharusnya perempuan Indonesia dewasa ini, keluar dari stigma ketidaksetaraan gender. Peluang dalam segala aspek kehidupan, telah terbuka bagi perempuan untuk pengembangan dirinya dalam semua lingkup kehidupan. Sisa bagaimana perempuan memanfaatkan kondisi itu secara baik. Upaya mencapai kesetaraan dalam artian kesamaan kuantitatif antarjenis kelamin, sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih secara kodrati, perempuan dan laki-laki, memang tak bisa dipersamakan. Untuk itu, perjuangan emansipasi juga tak boleh melenceng dari kodrat keperempuanan.