Selasa, 08 Maret 2016

Lelaki Pemalu

Kau terlihat tenang sekarang. Lebih berani menatapku. Sudah sekitar tiga menit kita saling menatap dalam-dalam. Sepertinya, aku harus mengalah untuk ketiga kalinya. Kau kini hebat dalam permainan menahan tatapan. Tahan tak berkedip lama-lama. Kutebak, kau pasti ingin membalas kenyataan, bahwa betapa mudahnya kau gugup di hadapanku tiga tahun lalu. Dahulu, kau tak mungkin berani menatap mataku untuk kedua kalinya. Beranimu cuma melirik sekali, lalu mununduk pergi. Matamu pengecut. Tapi sekarang, aku bisa melihat jelas guratan bola matamu. Tatapanmu yang tajam bak merengkuh sukmaku. Kini aku pun bertanya-tanya, bagaimana bisa, dulu, kau sangat segan padaku.

Kejadian masa silam masih membekas di memoriku. Saat kita masih bergelut di organisasi kemahasiswaan yang sama, kau selalu kikuk jika kutatap. Setiap kali kita terjebak di satu ruang, saat rapat kepengurusan, kau selalu mati gaya jika aku ada. Ketika pandangan kita tiba-tiba bertabrakan, kau akan salah tingkah dan mencari pelarian lain, semisal tiba-tiba bergurau dengan teman lelaki di sampingmu. Padahal kubaca jelas, kau mencoba menyembunyikan perasaan gugupmu di hadapanku. Saat itu, untuk memandang mataku saja, sepertinya kau mengharamkannya, apalagi untuk mengajakku mengobrol. Itu mengherankan sebab kau homoris dan hangat pada teman kita yang lain.

Begitu lama kau bertahan dengan malumu dan gerak-gerikmu yang mencurigakan. Kau seperti menikmati hidup dalam dunia horor yang kau ciptakan sendiri. Padahal aku selalu siap jika kau ingin berbincang panjang-lebar denganku. Nyatanya, kau hanya akan membalasku jika aku yang lebih dulu menyapa atau bertanya, ataukah saat ada persoalan organisasi yang memaksamu. Tanpa faktor itu, kau lebih memilih diam seribu bahasa.

Sampai suatu hari seusai wisudaku, sekitar setahun yang lalu, kau satu-satunya teman lelakiku yang harus diolok-olok terlebih dahulu agar berani mengucapkan selamat kepadaku. Mungkin karena tak tahan dipojokkan, kau akhirnya memberanikan diri menyusulku saat hendak pulang ke rumah. 

“Se….Selamat atas wisudanya, Ayu,” tuturmu terbata-bata, tanpa basa-basi. Kau berucap sambil menunduk. Tak berani menatap mataku. Kau terlihat gugup. Tanganmu gemetaran. 

“Terima kasih Bas. Semoga kau cepat menyusulku,” balasku, mencoba tampil sehangat mungkin padamu.

“Iya. Semoga,” tuturmu sambil nyengir sepintas. Bola mata di balik kecamata minusmu melirikku sejenak. Segera setelah itu, kau pergi dengan gayamu yang langka. Dari kejauhan, kulihat, siulan dan gurauan teman-teman kita, membuatmu gusar dan malu.

Perbedaan itu membuatmu unik. Kusuka sikapmu begitu. Memang benar selera setiap orang berbeda dan tak bisa dipaksakan. Sama seperti kekagumanku padamu. Aku jadi merasa satu-satunya wanita yang mengidamkan tipe lelaki sepertimu di zaman modern ini. Kau tak seperti lelaki lain yang selalu berusaha bertopeng untuk membuai perasaan wanita. Kau menampilkan perasaanmu apa adanya. Itu yang kudambakan; kejujuran.

Sampai datang waktu, kesenanganku membayangkan tingkah lakumu yang menggemaskan, harus kuhentikan. Kudengar dari teman baik kita, kau sebenarnya tak menyukaiku. Sungguh, setelah mendengar itu, aku tak habis pikir. Apalagi sudah kuyakini bahwa mati gayamu selama ini adalah buah dari ketertarikanmu padaku, yang kau pendam dalam-dalam. Sejak itu, beralasan bagiku untuk mengiyakan bahwa lelaki pemalu sepertimu, tak pantas diidamkan. Tipe sepertimu bukan lelaki sesungguhnya. Kau tak perasa, apalagi pengertian.

Akhirnya, cerita tentang kebersamaan kita yang misterius, sampai pada klimaksnya. Sungguh tak kusangka, hampir setahun setelah aku wisuda, tiga bulan selepas kuliahmu juga usai, kau akhirnya datang melamarku. 

Kini, caramu mencintaiku membuatku bertanya-tanya.

“Apa benar dahulu kau tak menyukaiku?” tanyaku. Aku yakin, mengorek masa lalu kita akan membuat malumu bangkit lagi. Kau akan berkedip, dan akhirnya kalah di ronde ketiga ini.

“Aku tak pernah sebatas menyukaimu. Malah, dahulu aku tak mencintaimu. Sungguh!” tuturmu sambil menegakkan jari telunjuk bersama jari tengah di samping telinga, tanda bahwa kau tak lagi berbohong. “Sejak awal mengenalmu, aku hanya ingin mencintaimu.”

“Aku tak mengerti. Kau jangan sok-sok jadi filsuf cinta. Bicaralah dengan sederhana,” pintaku.

“Aku mengagumimu secara utuh. Aku menerima kekurangan dan kelebihanmu tanpa batas. Rasa sukaku padamu bukan hanya karena lesung pipimu yang manis itu. Kelak, pipimu akan keriput dan membuatnya samar-samar. Aku juga tak menyukaimu hanya karena mata bulatmu yang bening itu. Suatu saat akan berkerut, rabun, ataukah katarak. Jika hanya karena rasa suka, aku tak yakin bisa mendampingimu sepanjang waktuku. Tapi kau jangan meragukanku, sebab kini aku benar-benar mencintaimu,” balasmu dengan sikap yang tenang.

Penjelasanmu membuatku terkesima. Mulai kupahami, mengapa dahulu kau tak pernah memujiku seperti layaknya lelaki kekinian memperlakukan wanita. “Apa buktinya kau mencintaiku?” tanyaku.

“Aku berani menikahimu!” balasmu segera. “Dan aku tak akan meninggalkanmu, karena aku mencintaimu.”

Kulihat ada keyakinan tersirat di matamu. Begitu jujur. Tatapanmu semakin tajam, hingga menggetarkan batinku. Kantung air mataku pun tergelitik. Terpaksa, aku kalah untuk ketiga kalinya. 

LGBT dan HAM

Persoalan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) masih menjadi polemik di media massa. Pemicunya adalah maraknya kekerasan seksual terhadap anak, pelarangan diskusi tentang LGBT di sejumlah kampus, hingga terendusnya gelontoran dana sebesar Rp. 107,8 miliar dari UNDP (United Nations Development Programme) untuk kampanye LGBT di Indonesia dan tiga negara Asia lainnya.
 
Permasalahan LGBT akhirnya menimbulkan pertentangan pendapat, antara pihak pro dan kontra. Pendukung LGBT menggunakan dalil HAM (Hak Asasi Manusia), sedangkan yang menolak menggunakan dalil moral maupun agama. Kaum ataupun simpatisan LGBT menyatakan bahwa orientasi seksual adalah HAM. Di sisi lain, pihak kontra, terutama kaum agamais, menilai LGBT sebagai penyimpangan dari fitrah manusia, dan tidak masuk dalam konsepsi HAM.

Dijadikannya konsep HAM sebagai dasar argumentasi para simpatisan LGBT, tentu tidak bisa dihindari. Kaum LGBT adalah manusia pada umumnya, yang tentu punya hak-hak mendasar yang perlu dihormati. Terlebih, Indonesia dalam konstitusinya, ditegaskan sebagai negara hukum, yang tujuan utamanya tentu untuk melindungi HAM yang berbasis pada hak individual. Aturan hukum pun dihadirkan untuk menjamin terpenuhinya HAM, terutama melindunginya dari pengabaian ataupun pelanggaran oleh kekuasaan negara. Kaum LGBT yang nota bene kaum minoritas, tentu membutuhkan perlindungan hukum.

Lalu apakah LGBT masuk dalam konsepsi HAM? Menjawab persoalan ini tentu tidak mudah. Untuk itu, perlu memberikan limitasi tentang bagaimana sebenarnya konsepsi HAM dalam negara hukum Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Definisi di atas dapat dijadikan rujukan dalam menelaah apakah LGBT merupakan HAM. Frasa “melekat pada hakikat manusia” tak lain menegaskan bahwa HAM tidak boleh bertentang dengan fitrah manusia. Selanjutnya, kata “anugerah-Nya”, menyiratkan makna bahwa Tuhan yang Mahasempurna menciptakan manusia secara sebaik-baiknya, termasuk menciptakannya secara berpasang-pasangan, antara laki-laki dan perempuan. Ditambah lagi frasa “demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”, yang berarti bahwa konsepsi HAM bertujuan untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya, sebagaimana kehendak Tuhan. Dengan menggunakan tafsir tekstual, maka berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM, tidak berdasar jika LGBT dianggap sebagai HAM.

Selanjutnya, muncul permasalahan lainnya, yaitu terkait konsepsi HAM secara konteksual, bahwasanya segala tidak-tanduk individu dianggang HAM selama tak merugikan atau mengganggu hak orang lain. Merujuk pada konsepsi itu, orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda (baca: kaum LGBT), berhak untuk menyalurkan hasratnya, bahkan membentuk komunitas/organisasi LGBT, selama interaksinya dilakukan tanpa ada paksaan. Jika begitu, apakah memang LGBT selayaknya diberikan hak bertindak sebebas-bebasnya, selama tak mengganggu hak orang lain?

Pembatasan kebebasan individu dalam pemenuhan HAM-nya, termasuk kaum LGBT, selayaknya tidak hanya berpatokan pada ada tidaknya hak individu orang lain yang dilanggar secara nyata. Melainkan juga melihat, apakah tindakan seseorang bersesuaian atau tidak dengan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Penting diingat bahwa bersamaan dengan HAM, juga ada kewajiban dasar manusia. Tidak terlaksananya kewajiban dasar itu, akan membuat perlindungan dan penegakan HAM bermasalah

Mengingat, dalam banyak kasus, termasuk fenomena LGBT, memang sulit menemukan adanya ketersinggungan hak orang lain, apalagi jika perilaku kaum LGBT dilakukan tanpa dasar paksaan. Meski begitu, pelanggaran oleh kaum LGBT bukan berarti tak ada. Palanggaran itu terjadi pada hak-hak kehidupan bersama, yaitu rusaknya tatanan sosial. Tindak-tanduk LGBT yang tidak sejalan dengan agama, moral, dan etika, jelas bertentangan dengan kewajiban dasar manusia, serta melanggar hak kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Konsepsi semacam ini, jelas dianut juga oleh UU No. 39/1999 tentang HAM.   

Terkait hak berkumpul dan berserikat, tentu tak bisa dipungkiri adanya jaminan konstitusionalnya dalam UUD NRI Tahun 1945. Maka, melanggar kebebasan orang untuk membentuk perkumpulan, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstutusional. Meski begitu, bukan berarti, kebebesan berserikat itu bebas sebebas-bebasnya. Negara, dalam hal ini pemerintah, tetap memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa segala macam perkumpulan individu, dibentuk atas tujuan mulia. Perkumpulan itu tidak boleh bertentangan dengan kewajiban dasar manusia serta hak individu atau masyarakat, hukum, moral, dan kesusilaan. 

Perkumpulan kaum LGBT, dalam bentuk organisasi atau komunitas, tentu tak selayaknya dilegalkan. Hal itu karena dasar pembentukan komunitas LGBT, pada dasarnya, adalah kesamaan orientasi seksual yang menyimpang, yang berbeda dari mayoritas manusia yang sebatas heterosekual. Merujuk pada dasar dan tujuan pembentukannya, komunitas LGBT jelas bertentangan dengan hukum, moral, kesusilaan. Melegalkan perkumpulan LGBT sama halnya melegalkan perkumpulan pecandu narkoba, “pria sewaan”, atau penjudi. Perkumpulan semacam itu, meski melibatkan individu tanpa paksaan, tapi jelas merusak tatanan dan nilai-nilai kehidupan sosial.

Secara ringkas, tanpa mempersoalkan ada tidaknya sumbangsih positif perkumpulan LGBT dalam kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa pelegalannya tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. Alasannya sebab dapat menimbulkan dampak negatif secara sosial. Belum lagi jika dikaitkan dengan sejumlah fakta bahwa selama ini, kaum-kaum LGBT gencar melakukan kampanye di media sosial dengan menyuguhkan gambar-gambar tak senonoh. Dipastikan, kampanyenya akan semakin semarak jika nantinya LGBT diakui sebagai HAM, dilegalkan, hingga diberikan hak untuk berserikat secara terbuka. 

Berangkat dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa mendasarkan argumentasi pada konsepsi HAM untuk mendukung kaum LGBT, tidaklah tepat, baik untuk perilakunya secara individual, intrapersonal, maupun dalam membentuk perkumpulan. LGBT adalah sebuah penyimpangan dari kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu pria dan wanita. Konsepsi itu jelas dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 undang-undang tersebut, hanya antara  pria dan wanita. Dengan begitu, perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.

Keberadaaan LGBT sebagai fenomena, memang tak bisa dihindari. Meski begitu, mendukung, atau setidaknya membenarkan tindakan menyimpang tersebut adalah sebuah keliruan. Melegalkan segala tindak-tanduk yang didasari paham LGBT, tidak boleh terjadi di negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keberadaban. Negara ini, dengan instrumen hukumnya, harus menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM, bukan malah sebaliknya. Hukum tak boleh lepas dari nilai-nilai keberadaban. Produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, tidak bersifat otonom, tetapi senantiasa bersesuaian dengan akal sehat dan fitrah manusia. Hukum ada untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan.

Lalu bagaimana menyikapi kaum LGBT? Pada dasarnya mudah saja, sebab yang menjadi titik permasalahan hanyalah pada perbedaan orientasi seksual, dan turunannya. Aspek itulah yang perlu diwanti-wanti. Namun pada persoalan lain, yaitu bahwa penganut LGBT adalah manusia dan warga negara seperti pada umumnya, maka sama sekali tidak ada alasan untuk membolehkan diskriminasi terhadap mereka, sebagaimana perintah Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hak-hak mereka, semisal hak untuk hidup, bebas dari siksaan dan rasa takut, kebebasan turut dalam organisasi sosial, maupun hak atas pekerjaan, harus dijamin perlindungan dan pemenuhannya. 

Mengingat dampak negatif LGBT, maka seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah, harus proaktif dalam memberikan proteksi kepada segenap warga negara atas penyebaran “virus” menyimpang LGBT. Langkah itu harus dibarengi bimbingan hingga pengobatan kepada para kaum LGBT agar bisa kembali pada orientasi seksual yang semestinya. LGBT adalah penyimpangan, maka pasti ada cara untuk mengembalikannya pada jalan yang semestinya, baik dengan pendekatan psikologis maupun biologis. Upaya tersebut harus dilakukan secara manusiawi, bukan dengan cara-cara kebencian dan kekerasan. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah ketika mencintai keburukan untuk mengajaknya kembali pada kebaikan, bukan malah memusuhinya sehingga tertutup kemungkinan baginya kembali pada jalan yang benar.

Salamku Kepada Pemilikmu

Aku tak pernah merencanakan untuk bertemu denganmu, apalagi menaruh perasaan tertarik. Semua terjadi karena keberengsekanmu saja. Kau melintas di depanku dengan penuh pesona, hingga bermunculanlah tanya tak berujung di benakku. Parahnya, kau berhenti tepat di depanku, duduk, dan menatap ke arahku. Kau terlihat manis dan bersih. Pastinya, kau keturunan Turki. Aku jadi tertarik ingin menyentuhmu. Tapi itu pasti diangggap kurang ajar jika kulakukan. Jadi tetaplah di posisimu. Biar di sini, kupandangi binar matamu yang seakan menyayat-nyayat jantungku. Akan kusorot setiap kedipan lembutmu yang sangat menggemaskan. 
 
Tapi lama-lama memendam perasaan, aku jadi tak tahan juga. Ingin kutahu tentangmu lebih dalam. Rasa penasaran menuntutku agar mendekat kepadamu. Tapi kupikir, jika kulakukan, bisa jadi membuatmu ketakutan, lalu pergi. Maka, dalam waktu bergulir, aku ingin kita masih tetap di posisi masing-masing. Saling berhadapan di dua bangku taman yang berjaran 12 meter. Cara aman itu kupilih, sambil berharap kau yang menghampiriku. Jika pun tidak, sampai nanti, masih lebih baik begini, saat kita bisa saling melirik dan berbagi kesan. Itu sudah membuatku cukup terhibur. Dengan begitu, dalam detik demi detik, mata kita telah berbicara banyak hal.

Tujuh menit berselang, kau tetap dengan sikap yang sama, melirikku dengan penuh tanda tanya. Sepertinya itu tanda kekesalanmu, sebab aku tak kunjung menghampirimu. Aku menjadi gerah sendiri jika terus menebak-nebak. Aku ingin kepastian. Hasrat lalu menopang badanku. Aku pun melangkah menuju ke arahmu. Sial! Baru sekali melangkah, kau malah berjalan membelakangiku. Pergi menjauh. Akhirnya kuputuskan untuk duduk kembali. Tapi keberengsekan kau tampakkan lagi. Kau kembali ke posisi awalmu. Mungkin harus begini saja.

Sepuluh menit berselang, kala kutekadkan untuk menyorot buku bacaanku dan mengabaikanmu, kau malah menggoda. Menuturkan kata dengan suara manjamu. Aku tak paham artinya. Tapi sepertinya, suara itu kau tujukan ke arahku. Perhatianku jadi teralihkan lagi. Sampai akhirnya, tanpa sungkan, kau melangkah menuju bangkuku. Semakin kau mendekat, semakin sorot matamu melenceng dari mataku. Kau malah memandang sepasang bola mata di sampingku. Betapa mengecewakannya. Mungkin sedari tadi, aku saja yang terlalu merasa kau memerhatikanku, padahal sama sekali tidak.

Tanpa rasa kasihan, di jarak tiga meter dari bangkuku, kau duduk dan berdiam diri. Di posisi dudukmu yang sok manis itu, tentu saja siapa pun ingin merenggutmu, lalu membawamu ke mana saja. Tapi sepertinya pejantan di sampingku yang kau inginkan. Kalian memang sebangsa dan serasi. Sigap saja, teman baikku itu menghampirimu. Kalian akhirnya berjalan beriringan. Menjauh dari titik di mana aku menatap kalian dengan perasaan cemburu. Kini aku benar-benar merasa sendiri. Tak hanya karena kepergiamu yang memikat hatiku, tapi juga karena kau merenggut teman baikku. Tapi sudahlah. Aku tak mungkin mengekang hasrat kalian untuk saling berbagi kasih. Pergilah berduaan!

Masih di tempatku saat ini, aku mencoba mengabaikan bayang-bayang dua jiwa yang telah berlalu, kalian. Kini aku bertanya-tanya, tentang bagaimana perasaan seseorang wanita di bangku depanku. Kami senasib, sama-sama ditinggal pergi teman demi pujaan hati. Nanti, saat lembar bacaannya telah kelar, lalu menyadari apa yang terjadi, aku yakin dia juga merasa kesepian. Apalagi teman baiknya pergi saja tanpa pamit. Petakanya bisa berlanjut jika besok-besok, si teman lebih asyik berimajinasi tentang kekasih daripada menemaninya. Terus terang, aku prihatin padanya. 

Kesendiriannya dan kesendirianku bukanlah sebuah akhir. Ini bisa jadi awal dari sebuah kebersamaan baru, atas nama pertemanan atau lebih dari itu. Aku berharap, nanti, ia tak mempermasalahkan temannya itu menggandeng tamanku. Bukankah itu membuka kemungkinan kami bisa pergi bersama juga? 

Dari kejauhan, kulihat, ia mulai gelisah. Matanya sepertinya mulai kelelahan membaca lembaran buku yang masih sampai pertengahan. Kini ia mulai sadar telah ditinggalkan. Segala arah disorotnya. Mencoba mencari ke mana jejak temannya. Ia pun memandang ke arahku. Aku segera memalingkan wajah darinya. Pura-pura saja kusorot bukuku. Aku takut. Sepasang matanya lebih menyayat ketimbang mata temannya, si betina. Aku menyerah jika harus bersetatap dengannya. 

Situasi sekarang ternyata lebih mencekam. Kuharap temannya segera kembali sebelum ia menginterogasiku. Tapi sudah terlambat. Suara tapakan kakinya terdengar menuju ke arahku. Ia sepertinya menyadari temannya pergi bersama temanku. Sekarang ia berdiri di depanku. Jantungku berdegup kencang. Aku tak berani menatap ke depan. Takut bola mataku terbakar tatapannya.

“Permisi,” sapanya.

Aku mencoba tak menggubrisnya. Jika ia menyahut untuk kedua kalinya, akan kubalas.

Berselang sedetik, tanpa balasku, ia lalu bergegas ke arah kananku. Aku kini berani menengadah. Kulihat ia menghampiri dua jiwa yang sedang kasmaran. Kehadirannya tentu saja mengusik suasana romantis sepasang teman egois itu. Mereka pun merengek. Tapi sepertinya, kebersamaan mereka harus berakhir. Wanita itu memaksa teman betinanya untuk segera mengucapkan kata perpisahan.

Temanku sepertinya tak menerima kekasihnya pergi secepat itu. Ia mencoba memberikan perlawanan. Mengoceh sana-sini. Menegaskan bahwa waktu berdua mereka belum saatnya berakhir. Aku jadi khawatir temanku berbuat onar. Meski harus menanggung rasa malu, kuhampiri mereka segera.

“Maafkan temanku ini,” tuturku padanya. “Mungkin mereka telah lama menahan kesendirian.”

“Tak mengapa,” balas gadis itu, lembut. “Sebenarnya aku tak ingin mengganggu mereka. Tapi aku harus pulang. Langit mendung. Sepertinya hujan akan segera turun.”

Kulirik wajahnya sepintas. Tak sampai menatap matanya. “Seharusnya begitu. Setidaknya mereka sudah berkenalan.”

“Ya. Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu. Sampai jumpa,” tuturnya, kemudian bergegas berlalu. Dia melangkah cepat, sambil menggendong teman betinanya. Detik demi detik, mereka semakin menjauh di balik payung. 

Bias air hujan sebesar bulu kucing pun mulai berguguran. Suasana alam jadi sedingin perasaanku.
“Sampai jumpa,” balasku membatin. 

Kini kami bersama lagi. Dua jiwa yang kesepian. Tapi temanku lebih beruntung. Ia sempat berbincang panjang lebar dengan betina pujaannya. Sedangkan aku, masih dengan kebiasaanku yang tak punya nyali berhadapan dengan lawan jenis. Jangankan bertanya nama, menatapnya saja aku gugup setengah mati. 

Dari kejauhan, aku masih sempat menatap sepasang mata si betina dan bergumam kepadanya: Anggora, namaku Izan. Sampaikan salamku kepada pemilikmu.  

Virus Politik

Pembicaraan tentang politik terjadi di mana-mana. Seakan tak ada hari tanpa politik. Setiap saat, persoalan politik ditayangkan di layar kaca televisi. Kekisruhan menjadi fokus utama pemberitaan. Kondisi itu, tak pelak, membuat sebagian orang menjadi gerah terhadap pembicaraan politik, apalagi untuk turut berpartisipasi langsung dalam aktivitas perpolitikan. Sikap menjauh semacam itu bukan berarti membenci politik, tetapi bisa jadi wujud kekecewaan melihat proses politik yang tak jelas tujuannya.

Sulit untuk menolak kenyataan bahwa politik dewasa ini lebih berkutat pada tataran proses, hingga tak lagi fokus pada tujuan politik sesungguhnya. Politik hanya diartikan sebagai proses pergantian penguasa. Setelah tahta berhasil direbut, kerja-kerja nyata untuk kemaslahatan bersama, seperti yang pernah dijanjikan, terabaikan. Imbasnya, kritik terhadap penguasa yang lupa daratan pun digencarkan pihak yang pernah dipecundangi dalam pertarungan. Namun setelah kekuasaan berhasil digulingkan dan diambil alih, sama juga; tak ada dampak berarti bagi masyarakat. 

Makna politik dan aktualisasinya kini dikerangkeng, diartikan sebatas perebutan kekuasaan. Implikasinya, lahirlah dua kubu berseberangan, yaitu antara kawan dan lawan politik. Padahal jika merujuk pada makna asali tentang politik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik adalah mekanisme untuk menyatukan perbedaan. Kata politik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis (kota), dan teta (urusan). Itu berarti politik adalah cara masyarakat kota Yunani, pada zaman dahulu, untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka secara damai. Dengan begitu, tujuan politik yang sebenarnya tidak lain adalah menjamin terciptanya ketenteraman dan kebersamaan, melalui upaya penyatuan persepsi-persepsi. 

Pemelintiran terhadap hakikat politik, kini menimbulkan akibat yang sungguh memiriskan. Sarana politik disalahgunakan, hingga menimbulkan perselisihan, pertentangan, pertikaian, bahkan pemberontakan. Politik adalah biang perpecahan, bukannya mewujudkan persatuan. Dunia politik yang senantiasa meminta tumbal, pun menjadi sangat menakutkan. Akibatnya, beberapa pihak yang sebenarnya punya niat dan konsep yang baik tentang politik, menjadi alergi untuk turut dalam aktivitas perpolitikan. 

Politik yang tengah dijangkiti penyakut akut, membutuhkan refleksi mendalam tentang perbaikan tatanannya. Apalagi mengingat bahwa melalui proses politiklah, keputusan strategis, baik berupa penentuan pemimpin ataupun perumusan kebijakan, dilakukan. Mengingat keadaan politik yang karut-marut itu, maka sudah saatnya politik dikembalikan kepada khittahnya. Politik butuh segera disucikan pada tujuannya yang mulia, tidak sekadar berkutat pada proses yang tak lebih subtansial. Untuk itu, paradigma yang menggeser makna politik sebatas panggung yang penuh intrik haram, perlu diluruskan kembali secara bersama-sama. 

Paradigma kekinian yang hanya mengartikan politik sebatas perebutan kekuasaan, perlu dicerahkan. Apalagi pola pikir semacam selalunya ingin menang, tanpa mempermasalahkan baik-buruk atau benar-salahnya cara yang ditempuh. Demi menjadi pemenang kekuasaan, semua cara apa pun ditempuh dan dianggap sebagai bagian dari politik. Wujudnya, politik uang, kolusi dan nepotisme, intimidasi, dianggap sebagai upaya politik yang dapat dibenarkan. Padalah, jika masih berakal sehat, perbuatan itu jelas musuh nyata politik. Oleh karena itu, virus-virus politik semacam itu, harus dilenyapkan demi mewujudkan kehidupan perpolitikan yang beradab.

Demi keberlanjutan tatanan kehidupan yang harmonis, penataan perpolitikan perlu dilakukan segera. Setiap pihak yang punya niat baik terhadap perbaikan dunia politik, terutama genarasi muda, harus berani tampil di panggung politik, dengan tetap menunjukkan perilaku politik yang beradap. Yang penting juga adalah merumuskan dan menawarkan program-program kerja yang rasional kepada khalayak, dan benar-benar diwujudkan kala dipercaya menduduki panggung kekuasaan. 

Setiap komponen masyarakat juga harus turut aktif dalam berpartisipasi, baik untuk turut bersuara, ataupun mengawasi agar proses politik maupun kerja nyata para politikus, berjalan secara baik dan benar. Tidak lupa, perbaikan politik tentu harus disokong oleh instrumen dan penegakan hukum yang memadai. Hukum harus mampu menjamin perlindungan bagi semua pihak dari “permainan haram” oknum politikus tak beradab, yang ingin memonopili dan menyalahgunakan kekuasaan. 

Politik harus diwujudkan sesuai hakikatnya, yaitu sebagaimana kata Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Oleh karena itu, paradigma dan aktualisasi politik yang hanya berkutat pada perebutan kekuasaan, demi kepentingan kelompok, sudah saatnya diberantas.

Ke depan, semoga dunia politik tak sarat lagi dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tetapi tampak sebagai pentas yang demokratis dengan pertarungan program secara cerdas. Berbarengan dengan itu, politik juga diharapkan senantiasa berakhir dengan rekonsiliasi, yaitu upaya pemulihan hubungan, atau bahkan penyatuan pihak-pihak yang terlibat dalam pertarungan politik. Dengan begitu, tak akan ada pihak yang menaruh kekesalan secara membabi buta dan mengganjal proses kerja pemerintahan. 

Ramuan Pelupa

Radio tua masih menyala di sebuah rumah panggung berdinding anyaman bambu. Suaranya bukan celotehan penyiar ataukah dendangan musik dangdut. Yang terdengar hanya desisan, serupa suara gerombolan tawon yang beterbangan. Diman, bapak tua, penghuni sebatang kara di rumah itu, tengah terkapar lemas di tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Ia tak tersadar untuk mematikan radionya. Padahal lewat tengah malam, harusnya dimatikan. Satu-satunya frekuensi siaran andalan yang terjangkau di daerah pedalaman, hanyalah RRI, dengan batas mengudara hanya sampai pukul 12.00 WITA. Selain itu, hanya ada siaran berbahasa Mandarin. 
 
Nurmi, istrinya, tak bisa lagi diharapkan untuk mematikan Radio butut itu kala ia terlelap. Memang, malam-malam sebelumnya, setiap kali terbangun di tengah malam, sang istri selalu mematikan radio yang menjadi pengantar tidurnya. Hitung-hitung hemat beterai. Tapi kini, Nurmi telah pergi. Diman yang belakangan semakin tak becus mengurus dirinya, benar-benar pusing. Jika terpikir lagi tentang kepergian Nurmi, tak ada pelariannya selain menenggak sari anau yang difermentasikannya sendiri. Begitulah caranya untuk mengabaikan bahwa kehidupan keluarganya berantakan. Padahal, dari penjualan gula arenlah, keluarganya dahulu menggantungkan hidup. Kini, mata pencariannya itu disalahgunakan. 

Kepergian Nurmi sebenarnya bukan tanpa alasan. Diman telah memperlakukannya di luar batas kewajaran. Sejak menikah sebelas tahun lalu, ia tak pernah sekali pun berlaku kasar pada istrinya. Walau sering cekcok, sampai ia naik pitam, tapi seperti haram baginya mengasari fisik istrinya. Sampai akhirnya, semalam, semuanya berubah drastis. Di kali pertamanya, ia tega mendaratkan tamparan di pipi kiri istrinya. 

“Dasar wanita laknat. Beraninya kau melanggar janji setia kita! Pergi kau dari sini!” itulah kalimat parpisahan yang terucap dari mulutnya kepada sang istri.

Di malam tadi, Diman tiba-tiba gusar. Sesampai di rumahnya yang sederhana, ia langsung saja memarahi istrinya secara membabi buta. Tak sadar betul. Ia pulang dengan kondisi mabuk. Itu kali pertama ia melanggar janji kepada sang istri untuk tak menenggak tuak setelah menikah. Baru semalam juga, setelah menikah, ia pulang terlambat tanpa memberi kabar. Parahnya, ia menuduh istrinya telah main serong dengan lelaki lain. Tak pikir panjang, Nurmi yang telah sabar menungg suaminya datang hingga larut malam, akhirnya pergi bersama rasa terlukannya. Akhirnya, keluarga sederhanan yang tak kunjung dikaruniai keturunan itu, retak.

Hari ini, hampir tengah hari, Diman akhirnya terbangun dari tidur pulasnya. Meski bias-bias, ia masih mengingat jelas kejadian semalam. Seberapa kerasnya pun ia berusaha melupakatnya, tak mungkin bisa. Ia tahu betul telah memperlakukan istrinya secara keterlaluan. Rasa bersalah itu akan selalu menghantuinya. Membuatnya selalu mengingat semua yang telah terjadi. Istrinya yang penyabar dan penyayang itu, kini terlanjur terluka dan pergi entah ke mana. Hanya penyesalan yang tersisa untuknya.

“Dasar wanita!” Diman melampiaskan amarahnya sebelum akhirnya tertidur lemas semalam. 

Dalam ketidakwarasannya, semalam juga, cincin pernikahan yang menjadi satu-satunya perhiasaan berharga di rumahnya, ia lemparkan jauh lewat jendela. Benda kenangan itu jatuh tepat di tengah aliran air sungai yang tengah deras. Akan menggelinding di antara jutaan kerikil. Mungkin sampai di muara, ataukah tertahan dan terkubur pasir di sela bebatuan. Semuanya telah diakhiri malam tadi. Kini ia harus menduda untuk kedua kalinya.

Betapa gundah melanda perasaan Diman saat ini. Ia tak habis pikir, semuanya bisa terjadi di luar kendali akal sehatnya. Yang pasti, semuanya berawal dari kesalahan sepele, yang selama ini selalu diwanti-wanti sang istri. Semalam Diman ternyata melanggar janji pada istrinya untuk tak singgah di sebuah rumah terpencil di bukit. Rumah itu dihuni seorang janda beranak satu, yang ditinggal pergi suaminya yang pemabuk, sebelas tahun lalu.

Jalan Tengah

Setiap orang selalu berusaha menegaskan identitasnya. Tak seorang pun sudi dilabeli predikat “setengah-setengah”. Misalnya lelaki normal, pasti protes kala dicap lelaki “setengah matang”; antara pria dan wanita. Pada banyak kasus, setiap orang akan berdiri di satu titik tertentu demi menegaskan posisinya. Sikap itu akan membuat jelas di mana ia berpihak, dan siapa yang tak sepihak dengannya. Implikasinya, muncullah kondisi kubu-kubuan, antara pro ataupun kontra.

Tak ada yang salah dengan penegasan identitas. Masalah muncul jika terlalu fanatik, hingga tak menghargai pihak lain yang berbeda. Dampaknya bisa jadi fatal, seperti menganggap orang di luar dari pihaknya adalah musuh yang seharusnya ditiadakan. Orang yang tak sepandangan atau sekubu dengannya, dianggap tidak memiliki nilai kebenaran sedikit pun. Ego kelompok semacam itu, membentuk pola pikir bahwa selain pihaknya, adalah salah.

Pada kondisi yang melihat segala sesuatu secara hitam-putih, tak pelak, pertentangan batin, pikiran, verbal, bahkan fisik, tak bisa dielakkan. Bermuncullah orang-orang yang buta dalam melihat konsepsi nilai kebaikan untuk memecahkan masalah dalam satu fenomena tertentu. Setiap persoalan akan mendapat justifikasi dan konsep penyelesaian dari pandangan satu pihak saja, yang sifatnya tertutup. Dengan kata lain, tak boleh mendengarkan, apalagi menuruti pandangan pihak lain.

Jika seseorang atau golongan terlalu fanatik akan identitasnya, tak pernah melakukan autokritik, bahkan lebih suka mengorek kejelekan pihak lainnya demi memuaskan egonya, maka yang terjadi adalah melebarnya jurang perbedaan dan butanya hati dalam melihat persamaan. Pola pikir yang tertutup seperti itu, akan berujung pada klaim nilai-nilai kebenaran, seakan kebenaran hanya milik satu pihak. Padahal bisa jadi, dalam menyikapi fenomena tertentu, pandangan satu pihak itu sebenarnya salah, dan pihak lain benar. Bahkan bisa jadi kedua pihak sama-sama benar, ataukah sama-sama salah.

Fanatisme golongan, sebagaimana penjelasan di atas, menjadi salah satu faktor terjadinya kegaduhan di mana-mana. Tidak hanya pada tataran perbedaan pandangan antarindividu berdasarkan doktrin organisasi dalam lingkup kecil, tetapi juga mencakup ruang kenegaraan, atau bahkan keagamaan. Seperti perbedaan terkait ideologi kenegaraan atau paham keagamaan tertentu. Akan sangat berbahaya jika diikuti dengan penghukuman “benar” di satu pihak, dan “salah” pada paham yang lain. Apalagi, dalam menyikapi fenomena kehidupan manusia yang kompleks, sikap terbaik seharusnya tak dirumuskan berdasarkan pertentangan paham secara keras. Sebab bisa jadi, perpaduan pendapat kedua pahamlah yang menghasilkan keputusan terbaik. 

Contoh kecilnya, saat ini, ideologi kapitalis dan sosialis dalam bidang ekonomi, masih sering dipertentangkan. Solusinya, pengaturan perekonomian di dunia modern yang berbasis persaingan bebas, dikawinkan dengan pandangan sosialis yang menuntut tanggung jawab pribadi terhadap kemaslahatan hidup bersama. Akhirnya muncullah konsep CSR. Perpaduan paham itu dalam menyikapi fenomena sosial, merupakan contoh perumusan jalan tengah yang apik.

Pertantangan-pertentangan sebagai wujud dari fanatisme pandangan, jika diamati dalam seluruh aspek kehidupan, sanagatlah banyak dan beragam. Perbedaan semacam itu tentu tak dapat dilenyapkan. Yang bisa dilakukan adalah mengadakan kolaborasi pandangan antara kedua belah pihak yang berseberangan. Mencari jalan tengah agar perbedaan tak berujung pada pertikaian, tetapi kesepakatan yang mendamaikan. 

Sudah saatnya lebih jeli melihat persamaan daripada mencari-cari perbedaan. Terlebih, dalam menghadapi fenomena kehidupan yang kompleks, predikat benar dan salah tidak lagi patut dianggap hak otonom dan monopoli pihak tertentu. Perpaduan pandangan menjadi sangat penting. Apalagi, kebenaran dan kebaikan tak menurut pada rumus matematika, sehingga dalam hal yang sepintas dianggap buruk sekalipun, ada nilai-nilai kebaikan yang bersemayam di dalamnya. 

Hadiah untuk Adik

Tak ada musim yang menyenangkan bagi Randi. Sampai umurnya delapan tahun kini, ia jelas tak menikmati masa kanak-kanaknya. Semua masa permainan dilewatinya dengan hampa. Musim karet, kelereng, wayang, tak pernah dinikmatinya. Untuk menonton keseruan teman-temannya saja, ia tak ada waktu. Di sore hari, sepulang sekolah, tanpa diperintah, ia sadar diri menyusul kakaknya, Firman, ke padang rumput, mengurusi ternak tetangga yang dikelola keluarganya dengan sistem bagi hasil. Kalaupun tak ada kerjaan, ia malu untuk turut bermain. Ia tak punya mainan yang bisa dibanggakan. Orang tuanya melakukan program penghemat. Uang untuk belanja mainan, tak dianggarkan.

Musim kemarau kali ini, sepertinya akan terganti musim hujan tanpa kesan yang menyenangkan bagi Randi. Anak-anak di kampungnya tengah senang-senangnya mengayuh pedal sepeda di mana-mana. Keriuhan mereka terdengar di setiap sudut kampung. Tapi sekali lagi, tidak untuknya. Ia harus merelakan musim permainan sepeda berlalu begitu saja. Menjauh di bukit dan berusaha tak mengacuhkan suara riang anak-anak kampung. Ia terpaksa tampil lebih dewasa dibanding taman sebayanya. Kebutuhan sekolahnya di masa mendatang, memaksanya untuk bekerja keras mengumpulkan uang.

“Kau tak usah memaksakan diri ke sini terus. Sekali-kali kau bermainlah bersama teman-temanmu. Jangan takut pada ayah. Aku tak akan memberitahukannya,” tutur kakaknya, Firman, kepadanya, saat mereka tengah istirahat sehabis menebar pakan ternak. “Kau masih anak-anak. Kau jangan paksakan dirimu seperti aku. Usiaku sudah 18 tahun. Memang sudah seharusnya aku bekerja keras untuk masa depanku, juga masa depanmu tentunya.”

Randi tak menjadi semringah. Ia tahu betul, sang kakak yang perhatian, akan berusaha menghiburnya jika sedang murung. Saran untuk pergi bermain seperti itu, sudah yang ke sekian kalinya. Tapi ia tak tertarik mempertimbangkannya. Turut bermain dengan teman sebaya, hanya akan membuat ia merasa semakin kesepian. Ia tak punya sepeda untuk musim ini. Mungkin akan berulang untuk musim selanjutnya. 

“Andai saja aku punya sepeda, tanpa Kakak sarankan, aku pasti telah menghilang dari sini sedari tadi. Ah…,” tuturnya sambil mengacak-acak rambut bagian belakangnya.

Firman yang duduk di samping adiknya, tak membalas dengan kata-kata. Ia tak ada jalan keluar. Meski begitu, ia sangat berhasrat untuk memberikan sebuah kejutan untuk adik semata wayangnya. Namun minimnya pendapatan dari hasil memelihara ternak tetangga, hanya cukup untuk kebutuhan yang paling primer. Kalaupun ada lebihnya, akan disakukan ayahnya, ditabung untuk masa depan pendidikan mereka berdua.

Sejak sore itu, Firman berjanji pada dirinya sendiri memberikan hadiah kepada adiknya, sebuah sepeda. Ia merasa sangat iba melihat adiknya begitu kerasanya meredam jiwa kekanak-kanakannnya. Dia tak mau menunggu besok. Saat malam datang, ia pun melakukan sebuah pekerjaan gelap. Ia tahu di mana ayahnya selama ini menyimpan tabungan. Ia berencana menilep beberapa lembar untuk membelikan adiknya sepeda baru. Ia menduga, ayahnya yang pikun dan tak menerapkan sistem administrasi keuangan secara baik, tak akan menyadari. 

Keesokan harinya, sesampai di padang pemeliharaan ternak, Randi terheran melihat sebuah sepeda baru bersandar pada tiang gubuk. Melihat itu, membuat angannya tentang sepeda semakin menggila.

“Kak, ini sepeda siapa?” tanya Randi, penasaran.

Firman yang tengah mencincang dedaunan untuk pakan ternak, segera berbalik, menoleh ke adiknya yang tampak terheran. “Itu punyamu. Aku yang beli untukmu. Aku harap kau bisa sekali-kali pergi bermain sepeda bersama teman-temanmu,” balasnya.

Randi tercengang. Ia tak menyangka kakaknya akan memberinya hadiah seberharga itu.

“Aku beli dari hasil tabungan. Kau tak usah beritahu Ayah,” titah Firman.

Randi hanya mengangguk. Ia tersenyum kegirangan. “Terima kasih Kak,” balasnya.

Tanpa pikir panjang, kini, sepeda baru telah ditunggangi Randi. Wajahnya begitu semringah. Kini, bisa jadi, ia membuat teman sebayanya iri. Sepeda baru itu adalah merek terbaik dari yang pernah dimiliki anak-anak di kampungnya. 

Melihat adiknya senang, tentu membuat Firman merasa bahagia. Tapi asal-usul sepeda itu harus dirahasiakannya. Agar tak ketahuan, Firman telah miminta kepada adiknya agar tak menampakkan sepeda itu di depan sang ayah. Karena itu, setiap kali selesai dipakai, sepeda itu disimpan di teras atap gubuk. 

Tapi nahas. Di sore itu juga, Ayah mereka yang sakit-sakitan, melakukan operasi mendadak. Randi pun berusaha secepat mungkin menyembunyikan sepeda di atas gubuk. Tapi kemunculan ayah mereka yang tiba-tiba, membuat rahasia itu terbongkar.

“Sepeda baru itu punyamu? Kau dapat dari mana uang untuk membelinya? Kau tak mencuri kan?” tanya ayah mereka seketika.

Firman dan Randi hanya bersetatap berkali-kali. “Kak Firman yang membelikanku, Ayah. Ia beli dari hasil tabungannya,” jalas Randi.

“Hasil tabunganku maksudnya?” tanya balik Ayahnya, tegas. “Jawab Firman!”

“Iya. Aku beli dari tabungan hasil ternak kita Ayah,” balas Firman dengan intonasi datar.

“Oh begitu. Aku benar-benar sudah pikun. Aku kira, uang tabunganku ditilep pencuri,” tutur sang Ayah sambil tertawa pendek, seperti baru tersadarkan. “Jadi benar kan kalau aku telah memberikan segepok uang sekitar Rp. 500.000 padamu?”

Firman jadi tak habis pikir dengan dugaan sang Ayah, tapi kekeliruan itulah yang ia inginkan. “Iya. Ayah pasti lupa. Kemarin Ayah memberikannya padaku."

Sang Ayah lalu terdiam beberapa saat, seperti berusaha mengingat bagaimana peristiwa serah terima uang itu terjadi.  “Oh. Syukurlah. Ternyata kau anak yang bisa dipercaya Firman. Aku selalu was-was, jangan-jangan kau menggunakan uang itu untuk persoalan lain. Ternyata kau menggunakannya sesuai pintaku, untuk membelikan sepeda baru bagi adikmu. Ah, syukurlah kau masih pengertian pada adikmu.”

Firman melemparkan senyuman pada adiknya, sambil memicingkan mata kirinya. Randi yang masih berdiri kaku, hanya melongo, tak mengerti tentang kejadian sebenarnya.