Rabu, 06 Januari 2016

Memerdekakan Diri


Setiap orang hidup dengan penilaian di sana-sini. Menilai memang mudah dan enteng. Masalahnya adalah, tidak semua penilaian itu objektif. Selalu ada motif tersembunyi dalam setiap penilaian yang berseliweran. Untuk itu, ada baiknya menimbang-nimbang kembali penilaian orang lain. Terlebih itu hanya pandangan dan pendapat pribadi penilai. Menelan mentah-mentah sebuah penilaian akan membuat individu sebagai objek ternilai tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Pola kehidupannya mengikuti selera orang lain. Kebebasan jadi terkekang. Kebahagiaan terkurung dalam raga. Tak ada kemerdekaan.

Penilaian orang-orang memang tak perlu dihindari. Selama hidup dan berinteraksi dengan orang lain, maka saling menilai adalah sebuah keniscayaan. Kritik dan saran tetaplah penting demi perbaikan diri. Apalagi karena ego, orang kadang merasa dirinya telah sempurna, sehingga buta atas kekurangannya sendiri. Menutup telinga terhadap penilaian orang lain adalah perilaku antikritik, atau malah antisosial yang tak baik. Sikap semacam itu akan membuat seseorang sulit diterima dalam sebuah lingkungan pergaualan. Terlebih, dalam setiap kelompok atau kominitas, tentu ada pakem budaya kehidupan. Oleh karena itu, penilaian tetap perlu dipertimbangnya untuk direfleksikan, lalu mengambil sikap atas penilaian secara cerdas dan merdeka.

Sebuah kekeliruan jika menjadi seseorang yang terlalu mudah dilumpuhkan oleh penilaian individual maupun stigma yang terkesan umum. Padahal kebaikan dan kebenaran sebuah penilaian, masih perlu diverifikasi. Kadang, tanpa pikir panjang, beberapa orang turut saja menyesuaikan perilakunya berdasarkan pandangan orang-orang dalam pergaulannya. Ia rela mengabaikan daya pikir dan perasaannya. Pasrah menenggelamkan diri dalam lautan pendapat orang lain. Tujuannya sederhana, yaitu agar tak dicela serta mendapatkan pengakuan dan pujian. Setidaknya, untuk kepentingan pragmatis, ia dapat diterima dalam lingkungan pergaulannya itu.

Dampak lanjutan dari kecenderungan seseorang untuk menggubris penilaian secara buta-buta adalah terciptanya kumpulan individu yang dikendalikan oleh stigma tak bertuan. Dikatakan tak bertuan sebab sebenanrnya tak ada seorang pun yang sreg dengan nilai-nilai yang telah dianggap umum itu. Tapi entah kenapa, pola nilai tanpa dasar itu, dianggap sebagai pandangan umum, bahkan dicap sebagai budaya. Jika sampai begitu, orang-orang akan benar-benar teralienasi dari dirinya sendiri. Tak ada lagi kemandirian seseorang dalam mengendalikan dirinya. Terjajah.

Berangkat dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, bisa jadi kini, pendapat atau penilaian tak bertuanlah yang menyetir pola pikir dan perilaku seseorang. Parahnya, akal dan nurani malah buntu. Orang-orang menjadi malas mengkritisi apakah pendapat yang diangggap umum benar-baik atau tidak, untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Atas jargon demi menghormati tradisi, orang-orang larut saja menuruti pandangan tak berdasar. Padahal tak satu pun yang tahu tentang sejarah lahirnya sederet kebiasaan itu, sehingga dianggap patut untuk dilestarikan ataukah tidak.

Perwujudan perilaku yang termakan pendapat absurd dapat teramati dalam banyak aspek kehidupan di zaman globalisasi yang modernis ini. Di mana-mana, ada standar nilai yang dianggap telah umum dan sakral, sehingga tak boleh diingkari. Misalnya saja tentang tata cara bertutur kata dan berpakaian. Dalam satu komunitas yang dicitrakan akan kesederhanaannya, setiap individu akan menampakkan dirinya sesederhana mungkin. Begitupun dalam kominitas yang dipandang sebagai kumpulan orang kaya, setiap anggotanya pun memaksakan diri untuk tampil glamor. Padahal sejatinya, individu tersebut tak menikmati gaya hidup semacam itu. Apalagi, itu bukan budaya dari komunitas bersangkutan. 

Sekali lagi, tak ada salahnya mengikuti pendapat dan perilaku orang lain. Yang salah adalah ketika menganggap pola perilaku sebuah komunitas adalah keharusan untuk diikuti, sehingga membuat seseorang tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Padahal tujuan utama dalam komunitas itu, sama sekali tidak mempersyarakan perilaku demikian. Memang benar bahwa setiap kelompok memiliki budaya tersendiri yang sepatutnya ditaati. Namun begitu, selama visi dan misi kelompok tak ternodai atas penyimpangan pola perilaku yang dianggap umum, seharusnya tak masalah jika setiap individu memilih tampil berbeda, demi menjadi dirinya sendiri. Menjadi merdeka. Apalagi jika tanpa disadari, memang telah terjadi penyimpangan budaya yang sejatinya pada komunitas itu secara turun temurun. Upaya kembali ke jati diri memang harus dilakukan, meski dengan tindakan yang dianggap membangkang.

Kesadaran terhadap perlunya pembersihan perilaku dari pandangan-pandangan umum tak bertuan, sangatlah penting. Itu sebab kenyataan kehidupan kekinian memperlihatkan adanya adopsi budaya luar oleh komunitas di dalam masyarakat yang sejatinya memiliki budaya sendiri. Memang butuh orang-orang edan untuk menjadi pionir pelurusan pandangan dan perwujudan budaya yang mulai melenceng. Diharapkan kelak, orang-orang itu dapat menggeser pandangan impor atau tak bertuan dengan pandangan yang benar-benar lahir dari budaya sejati komunitas masyarakat tertentu. 

Penting dipahami bahwa tak ada salahnya berbeda. Bahkan untuk kasus-kasus tertentu, kita memang harus menjadi berbeda. Bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga untuk memberikan teladan bagi orang lain bahwa tak ada yang salah dengan perbedaan, bahkan seharusnya begitu. Meski demikian, perilaku berbeda janganlah bebas tanpa pedoman. Perbedaan tak cukup hanya indah, tetapi juga benar dan baik. Menjadi berbeda harus tetap berpedoman pada budaya sejati dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Tentunya juga harus sejalan dengan nurani kemanusiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar