Jumat, 15 Januari 2016

Jejak Sandal


Aku tak berani banyak cakap pada kakakku sendiri, Ibas. Dia pemarah, meski aku selalu berlaku baik padanya, layaknya adik yang penuh pengabdian. Dia serasa orang asing bagiku. Sama sekali tak asyik ditemani mengobrol, apalagi berbagi humor. Padahal dia saudaraku satu-satunya. Kali ini, entah apa balasannya jika aku jujur kalau baru saja aku menghilangkan sandalnya. Tambah lagi, sandal itu kupakai tanpa seizinnya. Yang pasti, jika tak ada aral melintang, ia akan gusar setengah mati, menceramahiku, lalu memintaku segera menggantinya. Terlebih, sandal itu baru dibelinya seminggu yang lalu. Sandal yang tak terlalu mahal, tapi juga tak pasaran. Terbaik di antara jenis sandal jepit yang dijual di toko-toko biasanya.

“Alim, kau taruh di mana sandalku?” tanya Kakaku di teras rumah panggung kami. Seperti menggertak.

“Mmm, tadi aku…,” balasku gugup.

“Kamu apa tadi? Kamu pasti menghilangkannya. Iya kan?” balasnya mengeyel, sembari menguliti dan melahap satu per satu buah rambutan.

“Aku tak menghilangkannya. Tadi, pas waktu aku hendak pulang dari rumah Paman Kardi, sandal itu tak ada di tangga. Sepertinya dicuri,” balasku, sangat segan. “Aku akan mencarinya lagi.”

“Ah, alasanmu saja. Tapi sudahlah. Kau tak usah menangis. Umurmu sudah sebelas tahun. Aku tak akan memintamu menggantinya. Kali ini aku berbaik hati padamu. Ayo sini, makan rambutan,” balasnya dengan mimik datar. Aku tak menduga ia begitu bersahabat sekarang. 

Keesokan harinya, aku mengecek sandal itu di rumah Paman. Aku berharap menemukannya. Betapa senangnya Kakakku jika aku berhasil membawa sandal barunya pulang. Kuharap ia berubah dan benar-benar menyayangi aku sebagai adiknya.

“Paman Kardi, lihat sandal yang aku pakai ke sini kemarin? Kemarin, saat aku hendak pulang ke rumah, sandalku tak ada lagi di tangga Paman,” tanyaku.

“Oh, sandal yang satunya kuning, satunya merah?” tanyanya balik.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya Paman.”

“Oh. Tadi sandal itu aku bawa ke masjid. Aku simpan di sana. Kau ambil saja di sana,” tutur Paman. “Aku tak tahu itu punyamu. Kemarin aku dapat sandal itu di kebun belakang. Kau bilang barusan, kemarin sandalmu di bawah tangga. Kok bisa lari ke sana?”

Aku cemas, takut, dan malu. Seakan malaikat maut sedetik lagi akan mencabut nyawaku. Aku kikuk. Tak tahu harus bilang apa pada Paman. “Mmm….”

“Sudahlah Alim, jujur saja. Saatnyalah kau belajar berkata jujur. Jangan biasakan berbohong. Tak ada gunanya meniru Kakakmu yang kau katakan sering membohongimu itu. Nanti kau kualat sendiri,” nasihat Paman. Dia sepertinya tahu apa yang kulakukan kemarin sore. Lama-lama, aku merasa tenang. Berani terpaksa jujur. Pasrah.

“Maafkan aku Paman. Aku mengaku salah. Kemarin aku benar-benar ingin makan rambutan milik Pak Durin di kebun. Tapi aku kaget pas liat paman menuju ke arah pohon rambutan,” balasku menunduk. Tak berani bersetatap dengan Paman. “Andai saja Pak Durin ada di rumahnya, aku pasti memintanya terlebih dahulu.” 

“Sudahlah Alim. Tak mengapa,” tuturnya, sambil menepuk-nepuk lenganku. “Padahal jika kau tak ketakutan dan lari pontang-panting kemarin, kau akan makan rambutan lebih banyak. Pak Durin ke luar kota. Dia memberi izin kepadaku untuk memanen buah rambutannya,” tuturnya sambil merekahkan senyuman. Tak lama kemudian, ia tertawa pendek. “Sejujurnya, kemarin aku ingin meminta bantuan padamu untuk membantuku memanen. Tapi kamunya ketakutan duluan.”

Sekarang aku merasa bodoh. Geli membayangkan tindakan tak senonohku kemarin. “Tapi biarpun Paman punya hak pada buah rambutan itu, aku belum berhak tanpa seizin Paman. Tindakanku tetap salah Paman. Maafkan aku,” tuturku.

“Ya sudah. Yang penting kamu jujur,” balasnya. “Sore nanti, bantu paman penen di pohon rambutan yang satunya ya?”

“Baik Paman,” pungkasku, lalu pulang dengan rasa malu yang begitu membekas. 

Sang surya terus bergeser ke arah barat. Sekarang jam dua siang. Aku hendak pulang ke rumah dahulu. Jam empat sore nanti, aku akan datang membantu pamanku memanen rambutan. 

Sekarang kusadari, jujur itu menenangkan. Andai Paman tak tahu kejadian sesungguhnya, dosa-dosa pasti masih menakutiku. Aku bertekat selalu berperilaku jujur agar hidupku bahagia. Karena itu juga, uang beragam pecahan, berjumlah Rp. 18.000,-, yang kudapat di jalan, delapan hari lalu, akan kumasukkan ke kas masjid. Sudah seminggu uang itu kutaruh di bawah kasurku. 

“Kak Ibas, tak liat uang yang kutaruh dibawa kasur?” tanyaku pada Kakak yang sedang tiduran di kursi sambil memaninkan ponselnya.

“Yang kau dapat tempo hari? Yang jumlahnya Rp. 18.000,-?” jawabnya dengan mimik datar.

“Iya Kak. Uang yang itu. Kakak tak menggunakannya untuk jajan kan?” tanyaku lagi.

“Alaahhh. Sudahlah bocah. Aku juga tahu kalau makan dari uang haram itu tak baik. Makanya aku gunakan membeli sandal….,” balasnya seperti meremehkan.

“Sandal…,” selaku.

“Sandal yang kau hilangkan itu bocah!” balasnya, tegas. “Kau jangan salah paham dulu. Aku tak berniat macam-macam, apalagi menggunakannya. Tempo hari ada orang tua tak punya sandal. Ia mampir di rumah. Katanya rumahnya di bukit atas. Aku lihat dia tak punya sandal. Kasihan sekali. Karena aku tak punya uang, kubelikanlah ia sandal di tokoh sebelah dengan uang yang kau dapat itu. Tapi dia tak mau menerimanya. Jadi kugantung saja di kusen bawah kolong. Rancana akan kubawa di masjid keesokan harinya. Begitu ceritanya, bocah!” jelasnya panjang sebar. Masih memandang layar ponselnya. “Kau juga harus punya jiwa yang baik seperti kakakmu ini. Bantulah orang-orang yang membutuhkan semampumu. Dan satu lagi, jangan biasakan berbohong. Ok?”

“Baikkah. Aku tak akan bohong-bohong lagi Kak,” jawabku. Aku lalu berbalik dan melampiaskan kegembiraanku dalam hati. Betapa menenangkannnya jujur dan mengakui dosa-dosa tersembunyi. 

Kini aku tak perlu pusing akan kuapakan uang tak bertuan itu. Aku juga tak perlu mengambil sandal di masjid. Sudah di sanalah tempatnya. Sudah jam empat sore. Saatnya aku bersiap-siap membantu Paman memanen rambutan. 

“Eh satu lagi,” seru Kakak, membuat langkahku harus tertahan. “Aku tahu peristiwa kemarin sore. Mudah-mudahan kau belajar menjadi orang yang punya rasa malu,” tuturnya, menatapku tenang.

Dunia Kanibal

Tak ada pertobatan
Tangan-tangan kotor saling berjabat
Sembunyi-sembunyi
Bukan untuk saling bermaafan
Sebuah perjanjian terlarang
Atas nama semua, katanya

Dimulailah drama pembantaian
Kala semua rongga perut membusung
Karena kelaparan atau kekenyangan
Sebab ada hak yang terampas tangan terkutuk
Lahirlah pengutil di mana-mana
Di hotel ataupun di gubuk reyot

Lihatlah!
Iblis berupa bidadari
Menebarkan pengganjal perut di mana-mana
Dan mulut-mulut kelaparan terbungkam
Dosa-dosa tak lagi dipertanyakan
Dinikmati bersama-sama
Sesama pendosa dilarang menasihati
Itu hukum alam
Tak ada pertobatan
Sungguh!
Inilah kehidupan dunia kanibal

Berkas Lamaran

Aku harus menikmati neraka yang kuciptakan sendiri. Seperti sejak dulu, aku selalu enteng mengulur-ulur waktu hingga terdesak sendiri. Dua hari ke depan adalah deadline pengumpulan berkas lamaran kerja. Perusahaan pengiriman barang milik pemerintah membuka lowongan. Lama sudah aku menganggur, tanpa harapan hidup. Tapi lagi-lagi, kesempatan ini kupermainkan. Dari rentang waktu dua puluh hari pengumpulan berkas, aku baru grasak-grusuk empat hari belakangan. Jadinya, hari ini adalah peperangan hidup dan mati bagiku. Jika berkasku sampai ke alamat tertuju dua hari ke depan, aku masih berkesempatan. Jika tidak, tamat lagi riwayatku. Kembali jadi pengangguran dan bermalas-malasan. Aku setengah hati jika mengurusi kebun dan ternak yang hasilnya tak memuaskan.

Semalam, berkas lamaran kerja telah kupastikan lengkap, sebelum aku pasrah terlelap. Sekarang, jam menunjukkan pukul 15.00 tepat. Sejam lagi, cabang perusahaan pengiriman barang akan tutup. Tak lagi menerima daftar pengiriman hari ini. Aku benar-benar diburu waktu. Akhirnya, kondisi harus dipaksakan. Tak akan kuhabiskan waktu berlama-lama untuk mengecek kesiapan motor bututku, termasuk memanasi mesinnya. Berbekal cok, langsung saja kukebut motor itu setelah menyala. Kulajukan dengan kecepatan semaksimal mungkin. Sangat beresiko memang. Apalagi, beberapa malam yang lalu, motor tua itu mogok karena diperlakukan tak layak. Kali ini, lagi-lagi keadaan kubuat memaksa. Salahku. Kuhitung-hitung, jika lancar, sekitar 30 menit kuhabiskan di perjalanan. Rumahku memang jauh dari ibukota provinsi, tempat kantor pengiriman barang terdekat.

Kutekadkan, selama perjalanan, akan kumanfaatkan setiap detik sebaik mungkin. Akan kuabaikan semua godaan yang dapat mengulur-ulur waktuku. Kupasrahkan rasa dahaga dan lapar menghujam sistem pencernaanku. Aku memang tak menyantap apa pun selama sehari. Pasti kubalas juga dengan santapan terenak setelah urusan pengiriman berkas selesai. Memenangkan pertempuran lebih penting. Klakson motor kufungsikan dengan baik. Sangat efektif menyingkirkan penghuni jalan lain yang tak pernah tahu mendebarkannya pertempuran ini. Mataku harus fokus menatap jalan di depan. Sebisa mungkin, kumanfaatan celah kosong di jalanan untuk nyelap-nyelip. Mengurangi jarak yang ada, meski semili.

Tapi tak kuduga, godaan benar-benar datang mengujiku. Ini bukan tentang urusan lambung. Kulihat, di bawa paparan debu dan panas aspal yang menyesakkan, seorang bapak tua, seperti sudah kepala lima, sedang mendorong motornya yang mogok. Aku mencoba tak peduli. Waktuku akan terbuang sia-sia jika repot-repot membantunya. Tapi mengabaikan kenyataan itu akan membuatku sangat berdosa. Dia pasti setengah mati jika harus mendorong motornya sejauh dua kilometer ke depan, menuju bengkel terdekat. Apalagi, kebanyakan orang di kota acuh tak acuh. Kuingat lagi ketika di satu waktu, lewat tengah malam, motorku mogok. Seseorang datang begitu saja dan menumpu motorku dengan kaki sejauh lebih tiga kilometer. Aku takut karma. Akhirnya, aku menepi, berbalik arah, dan menghampirinya.

“Motornya mogok Pak?” tanyaku.

“Iya Nak. Syukurlah, bengkel tak jauh lagi,” jawabnya sembari mengusap cucuran keringat di dahi dan pipinya. Mencoba memberi isyarat bahwa ia masih kuat mendorong motornya, meski terlihat sangat capek.

“Masih ada sekitar dua kilometer Pak. Biar aku bantu. Naik saja di motor, biar aku tumpu dengan kaki dari belakang,” tawarku.

“Tapi kau kelihatannya buru-buru Nak. Tak usah. Biarlah kudorong saja,” balasnya sambil tersenyum.

“Tak mengapa Pak. Aku sudah terbiasa melakukannya,” jawabku sambil menutupi raut wajahku yang masam karena terburu-buru. Berusaha membuatnya yakin untuk menerima tawaranku. 

Akhirnya, ia pun bersedia kubantuan. “Baiklah. Kau yang memaksa,” tuturnya sambil tertawa kecil. Mencoba mencairkan suasana.

Sesampainya di bengkel, aku mencoba menghindari percakapan panjang. Waktuku sisa 30 menit sebelum kantor pengiriman barang tutup. Itu pun kalau tak tutup lebih awal dari jam kerja biasanya.

“Nak, terima kasih sudah membantu. Ambillah ini untukmu membeli sesuatu. Anggap saja, kita impas dengan ini. Kau pasti tahu, sungguh tak enak merasa berutang budi. Aku senang jika kau menerimanya.” Bapak itu menawarkan selembar uang Rp. 100.000,-.

“Tak usah Pak. Malah aku yang harusnya berterima kasih telah diberikan kesempatan berbuat baik,” balasku, menolak secara halus. Segera kunyalakan motorku, lalu pergi secepatnya setelah mengucapkan salam. Aku harap ia mengerti. Kuintip sekilas Bapak di kaca spion. Ia terlihat melambaikan tangannya. Kuduga ia masih butuh waktu bernegosiasi denganku. 

Kulajukan kembali motorku pada tujuan yang sesungguhnya. Waktuku semakin singkat. Masih butuh lima belas menit untuk sampai ke sana. Sisa 15 menitnya lagi, akan habis untuk mengantre dan menyelesaikan semua proses administrasi. Aku benar-benar terburu waktu. 

Sesampainya di parkiran kantor pengiriman, kurasa sangat lega. Apalagi, tampak di balik dinding kacanya, tak terlihat ada antrean seperti biasanya di dalam. Aku pun bergegas masuk.

“Permisi Pak, ada yang bisa kami bantu?” tutur satpam di gerbang pintu, seperti biasanya.

“Aku mau mengirim berkas lamaran kerja Pak. Masih bisa kan?” tuturku.

“Maaf Pak. Setengah jam lalu kami sudah tutup. Para pegawai pun sudah beres-beres untuk segera pulang. Besok saja Pak, ya,” usulnya.

Pandanganku tiba-tiba gelap. Aku tak menyangka nasibku akan sesial ini. Kusesali sudah, kenapa juga aku harus menolong Bapak tua yang namanya pun tak kutahu itu.

“Tapi Pak, jika tak dikirim hari ini, berkasku akan sampai setelah deadline. Itu artinya, harapanku untuk dapat kerja juga pupus Pak. Aku mohon, tolong Pak,” tuturku dengan wajah lesu, coba mengiba.

“Sekali lagi kami mohon maaf,” balasnya singkat, sambil menyungging.

Aku menggerutu dalam hati. Kurang ajar! Pegawai pemerintah memang semena-mena. Datang dan pulang kerja pada waktu yang ia inginkan. Tak ada aturan. Nanti kalau lamaranku berhasil dan aku kerja di kantor pusat cabang ini, pegawai-pegawai tak beradab akan kupangkas. 

Aku coba melampiaskan amarahku.

“Lalu bekasku ini…. harus aku apakan Pak?” tuturku dengan intonasi yang diba-tiba menurun di ujung kalimat. Aku tersentak. Merasa rugi saja marah-marah. Berkas lamaran yang kucoba gapai di tas kecil belakangku, lenyap. Pikirku, pasti tercecer di jalan. Salahku juga menarunya di tas yang tak seharusnya. Tas mini untuk berkas berukuran sekitar 20 x 30 cm. Sepertinya, separuh map yang tak masuk ke ruang tas, tertiup angin, lalu jatuh. “Baiklah Pak, aku tak bisa memaksa kalau begitu. Permisi,” pungkasku dengan nada datar, sebelum satpam kekar itu membalas.

Terpaksa, aku susuri jalanku kembali. Pulang dengan perasaan kecewa. Selera makanku pun tiba-tiba hilang. Ada pelajaran dari kekalahanku pada waktu hari ini, bahwa menjadi orang yang terlalu baik demi orang lain, ternyata tak selamanya tepat. Menolong orang lain juga harus dipikir-pikir untung ruginya bagi diri sendiri. Kadang-kadang, menjadi egois itu harus. Tapi dari semua kesialan itu, kusadari, ternyata mengulur-ulur waktu juga ada baiknya. Aku bersyukur tak mengurus berkas lamaran kerja jauh-jauh hari. Bisa dibayangkan, betapa terpuruknya kurasa jika mengurus sejak sebulan yang lalu, dan akhirnya sia-sia begini. 

Lima hari berlalu setelah kucoba mencari pekerjaan lain dan melupakan hari terkonyol yang lalu, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Inti pesannya menyatakan aku lolos berkas untuk penerimaan pegawai pada kantor pusat perusahaan pengiriman barang milik pemerintah itu. Aku akan menghadapi tes tertulis seminggu ke depan. Betapa kagetnya kurasa. Tak pernah kuduga. Entah bagaimana ceritanya.

“Bagaimana seleksi berkas lamaran pekerjaannya Nak. Lolos?” tutur seseorang lelaki di ujung telepon lima jam kemudian. Seraknya seperti suara ayahku. Aku terheran lagi, bagaimana bisa ayahku tahu kalau aku telah melamar pekerjaan.

“Syukurlah. Aku lolos berkas Yah. Ayah ganti nomor lagi?” balasku.

“Maaf sebelumnya Nak. Aku tak pernah memberi kabar padamu tentang kejadian lima hari yang lalu padamu. Ini aku, Pak Ardan, lelaki tua yang kau tolong di jalan dulu karena motornya mogok,” balasnya lagi.

Asumsi-asumsi bertebaran di benakku. “Jadi….,” aku bertutur terbata-bata. 

Tak kuduga, dia menemukan berkas lamaran pekerjaanku yang jatuh di pelataran bengkel, setelah aku menolongnya. Dia juga yang mengirimkannya ke alamat yang aku maksud di surat lamaran. Ternyata, dia adalah kepala cabang kantor pengiriman barang, tempatku bermaksud mengirimkan berkas. Sungguh tak terduga. Sekarang, pelajaran tentang kejadian lima hari lalu yang penuh kejutan, harus kuubah dan kutegaskan: aku akan tetap jadi penolong, tanpa pamrih, sebagaimana orang lain telah memperlakukanku.

Cerita dalam Cerita

Judul: Supernova, Episode: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh; Penulis: Dee Lestari; Penerbit: PT. Bentang Pustaka; Tahun Terbit: 2001; Edisi Cetakan: Cetakan Kedelapan, Februari 2015; Jumlah Halaman: 343


Dewi Lestari yang akrab dengan nama penanya, Dee Lestari, merupakan penulis novel bestseller nasional. Debut pertama darah kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 ini, dimulai dengan serial novelnya berjudul Supernova. Novel episode pertama dari serial Supernova yang ditulisnya berjudul Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Serial ini telah terbit hingga episode kelima. Judul empat episode selanjurnya, berturut-turut: Akar, Petir, Partikel, dan Gelombang. Kabarnya, serial Supernova akan berlanjut ke episode keenam dengan judul Inteligensi Embun Pagi.

Kontribusi Dee sebagai penulis fiksi yang dimulai dengan di episode Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, telah memberikan warna terendiri bagi dunia kesastraan Indonesia. Ia mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam menghasilkan sebuah karya yang menakjubkan. Membaca novel dengan 33 kepingan (sesi penceritaan) ini, akan memaksa kita menganggukkan keluasan pengetahuan Dee. Ia berhasil menghubungkan beberapa teori ilmu pengetahuan dalam karyanya ini, di antaranya mencakup Ilmu Fisika, Psikologi, Filsafat, dan Teologi. Luar biasannya, pengetahuan yang lintas disiplin ilmu itu, mampu dipadupadankan dalam alur cerita yang menarik. 

Sepertinya tepat penilaian Sujiwo Tejo yang dicantumkan sebagai pengantar novel ini, bahwa Dee mampu mengombinasikan penulisan fiksi dan nonfiksi secara apik. Karena itu, novel ini dapat membuat pembaca seakan mengeja aksara fiksi yang sangat ilmiah. Meski dibalut dengan substansi dan penuturan nonfiksi-ilmiah, bukan berarti novel ini kehilangan nuansa kesastraannya. Dee mampu menyandingkannya dengan baik, sehingga terasa bahwa teori ilmu pengetahuan yang dikutipnya, memiliki korelasi terhadap ide dan alur cerita fiksinya.

Secara ringkas, novel ini menceritakan dua orang lelaki yang sejiwa, bahkan dikisahkan “saling mencintai”, Reuben dan Dimas. Keduanya dikisahkan sebagai lulusan universitas di Negeri Paman Sam. Reuben adalah ahli psikologi kuantum dari Johns Hopkins School, sedangkan Dimas mendalami English Literature di George Washinton University. Dua tokoh inilah yang diceritakan mengkreasikan cerita, sehingga membaca novel ini bak menikmati cerita dalam cerita. Melalui penokohan mereka sebagai penceritalah, novel ini sampai pada akhir cerita. Di balik layar monitor, Reuben dan Dimas dikisahkan bekerja sama membuat sebuah masterpiece, sebuah karangan cerita yang mampu menghubungkan percabangan ilmu pengetahuan dengan dunia fiksi.

Kedua tokoh cerita itu mengisahkan Ferre, seorang bos perusahaan, menaksir seorang reporter sebuah majalah, Rana. Dilema tak bisa dihindari sebab Rana adalah isteri Arwin, seorang dari latar belakang keluarga yang taat pada moral dan agama. Hubungan terlarang itu pun tetap berjalan, sebab Rana tak pernah benar-benar mencintai Arwin. Mereka menikah setengah terpaksa. Tapi nahas, Ferre harus meredam perasaannya. Rana tetiba merasa sangat berdosa melihat ketulusan Arwin melepasnya untuk hidup bersama Ferre. Ketulusan Arwin itu membuat Rana iba padanya. Akhirnya, Rana tak tega meninggalkan suaminya itu. 

Ferre jadi teringat satu momen di kisah masa kecilnya. Nyatalah sudah cerita dongeng yang pernah dibaca neneknya semasih Ferre berumur sepuluh tahun. Ferre bak Kesatria, seperti dalam dongeng itu, yang jatuh cinta pada sang Putri dari kerajaan bidadari, Rana. Untuk menggapai sang Putri, ia pun melalui Bintang Jatuh, Arwin. Tapi nahas, ia terjatuh dan Bintang Jatuhlah yang mendapatkan sang Putri. Dalam kegalauan, Ferre akhirnya dipertemukan dengan seorang “wanita penghibur” yang cerdas dan baik hati, Diva, sang Supernova. Seiring waktu, kedua tetangga rumah yang dulunya saling mengabaikan itu, akhirnya semakin dekat. Diva mampu menghapus kegalauan di benak Ferre. Mereka akhirnya saling jatuh cinta. 

Uniknya, Dee mampu merangkai sebuah cerita yang tak lazim. Semua tokoh dalam cerita dikisahkan tak menyadari keterhubungan mereka dalam satu jaringan. Tak mengetahui bahwa mereka saling terhubung di jalur ICQ, tempat chating tanpa nama. Melalui media itulah, setiap tokoh berbagi kisah pengalaman hidupnya. Mereka bertanya dan mencurahkan perasaannya pada pemilik akun bernama Supernova, sang ahli di bidang pemecahan masalah kejiwaan. Tak diketahui tokoh lain, bahwa Supernova adalah Diva. 

Dari semua kelihaian Dee dalam novel ini, kemampuannya untuk membuat alur yang unik adalah salah satu yang menakjubkan. Ia berhasil mengkonstruksikan cerita dalam sebuah cerita. Dengan taktik itu, Dee berhasil membuat pembaca bahwa merasa ceritalah yang akan menceritakan ceritanya sendiri. Kelebihan lain adalah, Dee mampu memaparkan teori ilmu pengetahun, terutama di bidang fisika dan psikologi dalam novel ini, untuk menyelingi alur cerita fiksinya. Teori itu bukan saja sebagai pelengkap, tetapi dijadikan roh bagi penceritaannya. 

Lewat episode ini, Dee membuat ilmu pengetahuan yang begitu luas dan bercabang-cabang, terkoneksi melalui cerita fiksinya. Ia berhasil menunjukkan bahwa cabang ilmu pengetahuan, saling mempengaruhi. Sebagai kesatuan, ilmu pengetahuan dijelaskannya secara utuh dan sederhana. Lewat ide dan alur cerita fiksinya, Dee mampu membuktikan bahwa aspek materi dan nonmateri yang terbedah dalam beragam cabang-cabang ilmu, saling terhubung. Namun begitu, bobot analisa sains yang banyak dipaparkan dalam karya Dee yang satu ini, bisa saja membuat pembaca merasa kebingungan menemukan korelasi teori ilmu pengetahuan dengan ide dan alur cerita. Tapi sekali lagi, itu adalah sebuah terobosan yang unik dan menarik.