Kuasa
Tuhan bekerja dengan sangat tersirat. Jiwa-jiwa percayalah yang akan
menyadarinya. Makanya, sering dalam banyak hal, rencana hanyalah strategi ideal
yang berakhir di tempat sampah. Tak digunakan. Padahal banyak waktu telah habis
untuk merumuskannya. Sebab kadang lebih menenangkan jika menggantungkan kepastian dan tak menetapkannya berdasarkan otoritas diri sendiri. Lebih suka membiarkan kemungkinan untuk semua
pilihan, terbuka. Lalu mengikuti tanda-tanda dan sugesti yang menarik perhatian.
Tak secara sungguh-sungguh menetapkan pilihan pada yang mana di awal. Meyakini saja bahwa yang terbaik akan dipilihkan oleh-Nya. Dengan kuasanya, Ia akan membiarkan
waktu membentuk anak-anak tangga menuju pilihan terbaik. Banyak tangga berisi petunjuk
semacam itu. Sisa kita pilih dan tanjaki berdasarkan tuntunan hati dan akal. Intinya,
kita mesti menjalani proses untuk tiba di tujuan, meski tak pasti tercapai. Sampai akhirnya menyadari bahwa pada satu pilihan, yang tak terduga awal dan akhirnya, selalu ada berkah mengucur. Mengesankan. Tapi sungguh,
disadari atau tidak, kita telah meniti jalan menuju pilihan yang ditakdirkan,
sehingga harus bersedia menerima konsekuensinya. Itulah cara takdir tersingkap.
Gambaran
di atas serupa dengan lika-liku jalan hidupku di bangku kuliah. Aku tak
mengerti kenapa bisa memilih dan bertahan di sebuah rumah sederhana selama
empat tahun lebih. Tempat itu layaknya disebut bilik, dengan penghuni yang
hidup alakadarnya. Senang hidup seadanya. Padalah dulu, setamat SMA, kutekadkan
untuk mencari instana yang megah. Berharap mendapatkan banyak teman yang bisa mengajari
bagaimana bergaul dengan cara hidup orang kota sungguhan. Tapi nyatanya, aku malah
tersesat di rumah kecil berukuran 3x5 meter. Bertemu orang-orang kampung yang tak
lebih kekotaan dariku. Itulah takdir. Yang pasti, aku merasa di rumah sendiri
saat-saat bersenda-gurau dengan tuan rumah di kabinnya yang sempit. Terhimpit
buku-buku beragam genre, peninggalan nenek moyang rumah itu. Ya, itulah rumahku, rumah kita, Lembaga Pers
Mahasiswa Hukum Unhas (UKM LPMH-UH).
Peristiwa
lebih empat tahun lalu masih kuingat. Di semester awal pekuliahan tahun 2011. Semasih
aku mahasiswa baru. Kala itu, datanglah masa mahasiswa harus mengecapi salah
satu rumah kreativitas di Fakultas Hukum Unhas. Setiap mahasiswa wajib memilih
dan melulusi mata kuliah kokurikuler untuk mendapat gelar S.H.. Di rumah-rumah
itulah akan dikembangkan minat dan bakat mahasiswa secara sepintas. Semua rumah
menawarkan sajian yang berbeda-beda. Semuanya punya daya tarik tersendiri. Ada
sembilan rumah. Aku yang waktu itu kebingungan melingkari satu saja dari daftar
pilhanan di formulir, butuh waktu lama untuk merenung. Kuingat-ingat lagi
pertimbangan kakakku tentang organisasi yang sebaiknya kupilih. Kutanya-tanya
lagi diriku tentang minat dan bakat terpendamku. Yang paling membekas, adalah
kegemaranku menulis puisi berima (entahlah bisakah disebut seperti itu) di lembar-lembar
bukuku. Akhirnya, tanpa tahu yang mana sekretariatnya di antara deretan
bilik-bilik kecil, bagaimana kehidupannya, aku memilih kokurikuler jurnalistik yang
diselenggarakan rumah kecil, demi mengasah minat tulis-menulisku. Tentunya juga
untuk melulusi mata kuliah wajib berbobot 1 SKS itu.
Setelah
mata kuliah kokurikuler selesai dan aku dapat nilai yang sangat memuaskan, pilihan
terbuka kembali, tentang di mana aku akan mengasah minat dan bakatku lebih lanjut.
Berat memilih, sebab sekarang tentang pengabdian, bukan tentang formalitas
nilai lagi. Tentang tempat mengembangkan diri beberapa tahun setelahnya. Harus
mempertimbangkan kemanfaatannya bagi masa depan. Dan akhirnya, aku tetap
bertahan di rumah kecil itu. Rumah yang tergolong sepi, tanpa hura-hura yang
keterlaluan, serta tempat bernaung para pekarya dalam senyap. Jadinya, rencanaku
benar-benar meleset sebagaimana rencanaku sebelum kuliah, bahwa aku akan punya
banyak teman di kampus. Akan kudapat banyak penghargaan untuk diriku sendiri
yang layak kupamerkan kepada orang tua dan teman-temanku. Nyatanya, karena
pilihanku bertahan, hanya sedikit orang yang mengenalku. Tapi sebagaimana
konsekuensi penulis, dikenal lewat karya lebih baik dibanding dikenal secara fisik.
Dari rumah kecil itulah aku belajar menjadi penulis. Sampai sekarang, aku
bertekad tetap menulis, entah pun bagaimana takdir akan menempatkanku pada
lahan-lahan penghidupan di tahun-tahun mendatang.
Tak
terasa, empat tahun sudah aku melewati hidup di rumah kecil penuh rasa itu. Gudang
sejarah yang mengilhamiku melihat dunia sesungguhnya. Sebuah ketersesatan yang mengantarkanku
menemukan cahaya benderang. Kesederhanaannya menyadarkanku kalau hidup tanpa
pujian sangat menentramkan. Semalam, 8 Desember 2015, di malam puncak
peringatan pendiriannya, semangatku berkobar lagi. Kulihat jejakku yang berlalu,
aku bersyukur dan bangga memilih menjadi bagian dari organisasi pecandu aksara
itu sejak berdiri tahun 1995. Sakaulah aku. Lika-liku prosesnya pun telah aku
lewati semampuku, demi aku juga. Telah kuberikan seada dan semampuku. Prinsipku:
memberi sebanyak mungkin, sama dengan menerima sebanyak mungkin. Keyakinan itu
aku pegang. Buktinya kini, jika bukan karena LPMH-UH, mungkin aku tak akan bisa
menyusun kata menjadi kalimat, hingga akhirnya menjadi sebuh tulisan, seperti
ini.
Yang
pasti, tak ada yang kebetulan. Kita telah membuat pilihan, dan Tuhan-lah yang menentukan hasil akhirnya. Pun, tak ada sesuatu
yang kita lalukan tanpa alasan. Sama sepertiku dan rumah kecil. Jika suatu saat
ada seseorang yang bertanya mengapa aku menulis, meski tak pasti ada seorang pun
yang membacanya, maka alasannya sebab aku ingin berbakti untuk rumah kecilku. Kurasa
sia-sia saja memunguti huruf-huruf di sana selama empat tahun, jika akhirnya
aku tak menyusunnya kembali. Aku ingin menulis bukan karena diriku, tapi untuk
hidup dan kehidupan. Bagiku, menulis adalah senjata. Aku telah memperolehnya
dari rumah kecil. Di waktu-waktu mendatang, aku akan berperang dengan senjata
itu. Membagi cahaya-Nya, melawan orang-orang yang menampikkan kebenaran, dan membersihkan
sejarah dari peluru-peluru senjata para pendusta. Menulis demi manusia dan
kemanusiaan visiku. Kujalani pilihan hidup begini dengan tekad yang kuat.
Semoga. Amin.
Terima
kasih rumah kecil; kepada semua orang yang pernah seatap denganku di sana.
Abadilah! Aku mengabadikan kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar