Selasa, 08 Desember 2015

Terima Kasih Rumah Kecil

Kuasa Tuhan bekerja dengan sangat tersirat. Jiwa-jiwa percayalah yang akan menyadarinya. Makanya, sering dalam banyak hal, rencana hanyalah strategi ideal yang berakhir di tempat sampah. Tak digunakan. Padahal banyak waktu telah habis untuk merumuskannya. Sebab kadang lebih menenangkan jika menggantungkan kepastian dan tak menetapkannya berdasarkan otoritas diri sendiri. Lebih suka membiarkan kemungkinan untuk semua pilihan, terbuka. Lalu mengikuti tanda-tanda dan sugesti yang menarik perhatian. Tak secara sungguh-sungguh menetapkan pilihan pada yang mana di awal. Meyakini saja bahwa yang terbaik akan dipilihkan oleh-Nya. Dengan kuasanya, Ia akan membiarkan waktu membentuk anak-anak tangga menuju pilihan terbaik. Banyak tangga berisi petunjuk semacam itu. Sisa kita pilih dan tanjaki berdasarkan tuntunan hati dan akal. Intinya, kita mesti menjalani proses untuk tiba di tujuan, meski tak pasti tercapai. Sampai akhirnya menyadari bahwa pada satu pilihan, yang tak terduga awal dan akhirnya, selalu ada berkah mengucur. Mengesankan. Tapi sungguh, disadari atau tidak, kita telah meniti jalan menuju pilihan yang ditakdirkan, sehingga harus bersedia menerima konsekuensinya. Itulah cara takdir tersingkap.   

Gambaran di atas serupa dengan lika-liku jalan hidupku di bangku kuliah. Aku tak mengerti kenapa bisa memilih dan bertahan di sebuah rumah sederhana selama empat tahun lebih. Tempat itu layaknya disebut bilik, dengan penghuni yang hidup alakadarnya. Senang hidup seadanya. Padalah dulu, setamat SMA, kutekadkan untuk mencari instana yang megah. Berharap mendapatkan banyak teman yang bisa mengajari bagaimana bergaul dengan cara hidup orang kota sungguhan. Tapi nyatanya, aku malah tersesat di rumah kecil berukuran 3x5 meter. Bertemu orang-orang kampung yang tak lebih kekotaan dariku. Itulah takdir. Yang pasti, aku merasa di rumah sendiri saat-saat bersenda-gurau dengan tuan rumah di kabinnya yang sempit. Terhimpit buku-buku beragam genre, peninggalan nenek moyang rumah itu.  Ya, itulah rumahku, rumah kita, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (UKM LPMH-UH).

Peristiwa lebih empat tahun lalu masih kuingat. Di semester awal pekuliahan tahun 2011. Semasih aku mahasiswa baru. Kala itu, datanglah masa mahasiswa harus mengecapi salah satu rumah kreativitas di Fakultas Hukum Unhas. Setiap mahasiswa wajib memilih dan melulusi mata kuliah kokurikuler untuk mendapat gelar S.H.. Di rumah-rumah itulah akan dikembangkan minat dan bakat mahasiswa secara sepintas. Semua rumah menawarkan sajian yang berbeda-beda. Semuanya punya daya tarik tersendiri. Ada sembilan rumah. Aku yang waktu itu kebingungan melingkari satu saja dari daftar pilhanan di formulir, butuh waktu lama untuk merenung. Kuingat-ingat lagi pertimbangan kakakku tentang organisasi yang sebaiknya kupilih. Kutanya-tanya lagi diriku tentang minat dan bakat terpendamku. Yang paling membekas, adalah kegemaranku menulis puisi berima (entahlah bisakah disebut seperti itu) di lembar-lembar bukuku. Akhirnya, tanpa tahu yang mana sekretariatnya di antara deretan bilik-bilik kecil, bagaimana kehidupannya, aku memilih kokurikuler jurnalistik yang diselenggarakan rumah kecil, demi mengasah minat tulis-menulisku. Tentunya juga untuk melulusi mata kuliah wajib berbobot 1 SKS itu. 

Setelah mata kuliah kokurikuler selesai dan aku dapat nilai yang sangat memuaskan, pilihan terbuka kembali, tentang di mana aku akan mengasah minat dan bakatku lebih lanjut. Berat memilih, sebab sekarang tentang pengabdian, bukan tentang formalitas nilai lagi. Tentang tempat mengembangkan diri beberapa tahun setelahnya. Harus mempertimbangkan kemanfaatannya bagi masa depan. Dan akhirnya, aku tetap bertahan di rumah kecil itu. Rumah yang tergolong sepi, tanpa hura-hura yang keterlaluan, serta tempat bernaung para pekarya dalam senyap. Jadinya, rencanaku benar-benar meleset sebagaimana rencanaku sebelum kuliah, bahwa aku akan punya banyak teman di kampus. Akan kudapat banyak penghargaan untuk diriku sendiri yang layak kupamerkan kepada orang tua dan teman-temanku. Nyatanya, karena pilihanku bertahan, hanya sedikit orang yang mengenalku. Tapi sebagaimana konsekuensi penulis, dikenal lewat karya lebih baik dibanding dikenal secara fisik. Dari rumah kecil itulah aku belajar menjadi penulis. Sampai sekarang, aku bertekad tetap menulis, entah pun bagaimana takdir akan menempatkanku pada lahan-lahan penghidupan di tahun-tahun mendatang.

Tak terasa, empat tahun sudah aku melewati hidup di rumah kecil penuh rasa itu. Gudang sejarah yang mengilhamiku melihat dunia sesungguhnya. Sebuah ketersesatan yang mengantarkanku menemukan cahaya benderang. Kesederhanaannya menyadarkanku kalau hidup tanpa pujian sangat menentramkan. Semalam, 8 Desember 2015, di malam puncak peringatan pendiriannya, semangatku berkobar lagi. Kulihat jejakku yang berlalu, aku bersyukur dan bangga memilih menjadi bagian dari organisasi pecandu aksara itu sejak berdiri tahun 1995. Sakaulah aku. Lika-liku prosesnya pun telah aku lewati semampuku, demi aku juga. Telah kuberikan seada dan semampuku. Prinsipku: memberi sebanyak mungkin, sama dengan menerima sebanyak mungkin. Keyakinan itu aku pegang. Buktinya kini, jika bukan karena LPMH-UH, mungkin aku tak akan bisa menyusun kata menjadi kalimat, hingga akhirnya menjadi sebuh tulisan, seperti ini. 

Yang pasti, tak ada yang kebetulan. Kita telah membuat pilihan, dan Tuhan-lah yang  menentukan hasil akhirnya. Pun, tak ada sesuatu yang kita lalukan tanpa alasan. Sama sepertiku dan rumah kecil. Jika suatu saat ada seseorang yang bertanya mengapa aku menulis, meski tak pasti ada seorang pun yang membacanya, maka alasannya sebab aku ingin berbakti untuk rumah kecilku. Kurasa sia-sia saja memunguti huruf-huruf di sana selama empat tahun, jika akhirnya aku tak menyusunnya kembali. Aku ingin menulis bukan karena diriku, tapi untuk hidup dan kehidupan. Bagiku, menulis adalah senjata. Aku telah memperolehnya dari rumah kecil. Di waktu-waktu mendatang, aku akan berperang dengan senjata itu. Membagi cahaya-Nya, melawan orang-orang yang menampikkan kebenaran, dan membersihkan sejarah dari peluru-peluru senjata para pendusta. Menulis demi manusia dan kemanusiaan visiku. Kujalani pilihan hidup begini dengan tekad yang kuat. Semoga. Amin. 

Terima kasih rumah kecil; kepada semua orang yang pernah seatap denganku di sana. Abadilah! Aku mengabadikan kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar