Kamis, 17 Desember 2015

Rahasia di Balik Gubuk


Hujan belum benar-benar reda sore itu. Tapi Nila nekat pergi. Menghilang dari gubuk kenangannya sambil meronta-ronta. Penuh kesal. Meninggalkan dua orang tua yang telah membesarkannya sejak kecil. Wajah keriput orang tuanya membeku. Pasrah. Sudah tak ada titik temu antara keinginan-keinginan dalam gubuk itu. Sama-sama keras mempertahankan pendapat. Emosi Nila pun terlanjur melunjak, sebab ia rencananya akan dinikahkan dengan pemuda desa yang hidup serba sederhana. Rizal namanya. Seorang buruh tani. Orang tua Nila beralasan, lelaki itu bisa menjadi imam yang baik untuknya. Itu saja. 

Setamat SMA, Nila sebenarnya tak berencana melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Tapi demi menghindari pernikahan, berkuliah adalah pelarian yang paling masuk akal. Karena alasan itu juga, orang tuanya terpaksa berkompromi tanpa kata-kata. Pendidikan juga hal yang penting. Nila pun berangkat ke kota tanpa salam perpisahan. Menggantungkan nasibnya dalam pergumulan hidup yang keras. 

Tepat. Rencana kehidupannya berjalan lancar. Ia menyelesaikan kuliahnya kurang dari empat tahun. Dapat predikat cum laude. Berbekal nilai IPK tinggi, ia tak susah payah mendapatkan pekerjaan. Cita-citanya pun teraih. Menjadi seorang sekretaris. Mengurusi persuratan dan pencatatan administrasi sebuah perusahaan properti. Ia mendapatkan gaji lebih dari yang dibayangkannya. 

Tidak hanya itu, karena dekat dengan sang sang bos perusahaan, mereka akhirnya sepakat menikah. Namun bisa dipastikan, pernikahan mereka tidak akan direstui orang tua pihak laki-laki. Pastilah, sebab sang lelaki sudah beristri. Ia juga berasal dari keluarga terpandang, sedangkan Nila hanya anak kampung yang tak jelas asal usulnya. Tapi ujung-ujungnya, pernikahan mereka dilangsungkan secara tertutup. Nikah siri.

Semua kesuksesan hidup telah digapai Nila tanpa campur tangan orang tuanya. Usahanya sendiri. Tak ada lagi urusan dengan persoalan hidup dan kehidupan orang tua itu. Tak peduli. Jadinya, ia tak sekali pun bertukar kabar dengan kedua penghuni gubuk yang tua renta. Ia yakin, mereka juga tak peduli tentangnya. Tak sudi lagi berdoa untuknya yang mungkin telah dicap anak durhaka: melanggar titah orang tua. 

Demi melogiskan bencinya, Nila membangun alasan untuk tak mengingat Bapak dan Ibunya lagi. Meyakinkan diri jika bisik-bisik tetangga bahwa ia bukan anak biologis orang tuanya di gubuk adalah benar. Alasannya karena umur Nila sangat senjang dibanding umur kedua orang tuanya. Ia layak menyapa mereka dengan kata kakek dan nenek ketimbang ayah dan ibu. Selain itu, paras Nila menarik. Kulitnya putih bersih. Bak orang keturunan dari negara bersalju. Konstruksi wajahnya indah. Beda jauh dengan kedua orang tuanya yang berkulit hitam legam dan keriput. Yang jika dilihat dari parasnya, jelas mereka keturunan kampung asli. 

Karena kecantikannyalah, banyak sudah lamaran telah datang untuk Nila. Meski begitu ia selalu menolak. Orang tuanya pun sering tak setuju. Kecuali untuk si Rizal, mereka legowo saja. 

***

Perusahaan suami Nila mengalami perkembangan pesat. Proses pembebasan lahan pun terus dilakukan untuk membangun deretan rumah mewah yang akan membuat kota tampak lebih modern. Program pembangunan mereka pun didukung pemerintah. Karena itu, penyedian lahan pembangunan dan proses administrasi disokong pemerintah. Semuanya demi menghilangkan kesan kumuh dari rumah-rumah semi permanen. Akhirnya, penggusuran adalah pintu masuk menapaki jalan menuju kota dunia. Terlebih, penghuni gubuk-gubuk tak memiliki legitimasi untuk menempati lahan pemerintah. Pemukiman mereka liar. Mereka pasti menderita kekalahan demi hukum.

Rencana berjalan lancar. Penggusuran tak mendapat penentangan yang berarti. Rumah-rumah lapuk dan reyot relah rata dengan tanah. Warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak akan mampu menjinakkan keberingasan polisi. Tak ada yang nekat mempertaruhkan nasib mereka di bawah palu sidang. Semua karena Nila. Ia tahu jelas sejarah dan keadaan masyarakat di lokasi itu, lokasi gubuk tempatnya hidup dahulu. Ia tahu bahwa sekitar lima puluh tahun lalu, para pemukim di lahan itu hanyalah pendatang yang menempati tanah negara tanpa izin. Orang tunya pernah berkisah. 

Sepulang meninjau lokasi pembangunan yang telah diratakan buldoser seminggu sebelumnya, lagi-lagi, mobil mewah Nila terjebak macet. Lalu lintas kendaraan padat. Juga karena badan jalan ditimbun pasar tumpah, parkir liar, pedagang kaki lima, becak, angkutan kota tanpa aturan, dan pemulung bergerobak. Apalagi ditambah kubangan air hujan di lubang-lubang jalanan. Jadi susah mencari jalan. Sangat menyebalkan bagi wanita sekelasnya. Kesannya bak sesak napas. Akhirnya, celah kecil dijadikan kesempatan besar untuk menyelinap, menempuh jarak semaksimal mungkin. Nila tahu itu. Akhirnya, karena terburu-buru, sisi kanan bagian belakang mobilnya menyerempet gerobak pemulung.

Ia pun bergegas meminggirkan mobil mewahnya ke sisi kanan jalan. Kesalnya jadi berlipat ganda. Mobil mahal yang baru dibelinya sebulan lalu, tergores. Amarah tak bisa ia redam.

“Pak, harusnya dorong gerobaknya jangan di jalan raya. Bapak tahu kan, biaya untuk menghilangkan goresan di mobilku lebih mahal dari gerobak butut itu,” geramnya sembari menumpu pinggang dengan kedua tangannya. “Aku tak akan meminta Bapak dan Ibu untuk ganti rugi. Aku hanya ingatkan untuk tak berseliweran di jalan raya lain kali.”

Sepasang orang tua uzur yang sepertinya suami isteri itu hanya menunduk. Sesekali menengadah, lalu secepat mungkin menunduk kembali. Dengan cekatan, mereka memunguti botol-botol plastik yang berserakan di jalan. Lalu menegakkan gerobak mereka yang syukurnya tak mengalami kerusakan parah. 

“Maafkan aku Nyonya. Memang seharusnya kami yang hati-hati,” tuturnya si lelaki tua dengan lemah lembut. Batin Nila tersentak kala lelaki itu berdiri tepat di depannya. Bukan karena ia lancang mengulurkan tangan kumalnya untuk dijabat, tapi raut wajahnya mengingatkan pada orang tua di gubuknya dahulu. Kedua orang tua itu mirip orang tuanya. Ia yakin. Kini mereka tampak semakin tua. Seakan tak bisa lagi mengurus diri dengan baik. Nila lalu menjabat tangannya tanpa berkata-kata lagi.

Hampir lima menit Nila berdiri memandangi dan menceramahi kedua pemulung tua itu. Tak diduganya, orang-orang telah mengerumuni mereka bertiga. Sebagian besar lalu menyalahkan dan menyoraki Nila yang tak punya sopan santun pada orang tua. Ia tak berkutik. 

“Maaf. Aku yang seharusnya minta maaf Pak. Seharunya aku harus berhati-hati dalam berkendara,” tuturnya dengan intonasi suara yang turun drastis. “Ini ada sedikit rezeki saya untuk Bapak gunakan memperbaiki gerobak. Terimalah Pak.”

Setelah amplop berisi uang pemberinnya berpindah tangan, Nila pun bergegas pergi. Ia tak ingin orang tua itu malah mengembalikan uang yang telah diberikannya.

***

Petaka datang. Setahun selanjutnya, rumah tangga Nila retak. Suaminya tersangkut kasus menyerobotan lahan warga. Sepertiga lahan yang sebelumnya direncanakan untuk dibanguni perumahan mewah, ternyata lahan milik warga secara sah. Termasuk juga tempat gubuk orang tua Nila dahulu. Cekcok antara mereka setiap saat pun tak terhindarkan. Tak tahan dengan segala macam pertengkaran, mereka akhirnya sepakat untuk bercerai.

Pulang membawa sesal, Nila pun kembali ke lokasi gubuk orang tuanya dahulu. Tak ada tempat pulang lain. Di sana, ia tertegun meratapi hari-hari yang berlalu, tentang segala macam bentuk kedurhakaan yang telah ia lakukan. Begitu rindunya ia berada dalam suasana hangat keluarga sederhananya dahulu. Ia pun mencari keberadaan orang tuanya itu, hingga mendapat kabar bahwa mereka berada di sebuah rumah seorang pemuda desa. 

Akhirnya, Nilai sampai pada alamat yang dituju. Di sebuah rumah sederhanya yang tak jauh beda dengan gubuk kehidupannya dahulu. Ia pun masuk dan menemui Ibu tua nan bungkuk yang dicarinya. Ibu itu sedang menyapu halaman rumah.

 “Ibu masih mengenalku?” tanya Nila setelah salamnya terbalas.

Ibu mengerjapkan dan menyempitkan matanya. “Iya Nak. Kamu kan yang dulu kasi uang untuk kami beli gerobak baru?”

“Iya, Bu. Tapi…”

“Oh, iya. Tunggu sebentar Nak,” Ibu mememotong balasan Nila, menyimpan sapu lidinya, masuk ke dalam rumah, kemudian keluar. “Nah, ini uang yang kau berikan pada kami dulu Nak. Maaf, kami benar-benar tak enak menggunakannya,” tutur sembari tersenyum.

Nila tersentak. Menjadi semakin merasa tak berguna. Merasa berdosa. “Tapi uang ini memang untuk Ibu. Sudah jadi hak Ibu. Seharusnya Ibu menggunakannya,” balas Nila sambil merekatkan amplop berisi uang itu di antara telapak tangan Ibu.

“Tidak Nak. Bawalah kembali pulang. Atau sumbangkanlah saja ke panti asuhan,” tuturnya sambil menyodorkan kembali amplop itu pada Nila.

“Tak usah merasa segan Bu,” tutur Nila. Air matanya pun menetes. “Sebab, Sebab…. Aku Nila Bu…. Anak Ibu.” Ia terisak. “Maafkan Nila Bu…,” tuturnya, lalu bersimpuh di bawah lutut Ibu.

Ibu hanya terdiam merenungkan masa lalunya. Mengusap-usap rambut Nila. Lalu tanpa disadarinya, bulir air jatuh dari mata sembabnya.

“Ibu memang pantas melupakannku. Akulah telah tega meninggalkan Bapak dan Ibu di rumah kecil kita dahulu.” Tangis Nila semakin menjadi-jadi. Tersedu sedan.

Ibu mengenggam kedua bahu Nila. Menegakkannya. Menatap dalam wajahnya. Mengingat-ingat keluguan anak gadis yang dulunya senantiasa meramaikan suasana di rumah mereka. Kini Nila tampak semakin cantik. “Nila…, Anakku? Mengapa kau pulang selambat ini Nak. Kami sangat merindukanmu,” tuturnya.

Mereka berdua menangis sejadi-jadinya. Larut dalam keharuan. Hingga Bapak pun datang bersama gerobak barang bekasnya, lalu meminta penjelasan atas apa yang terjadi dan siapakah sosok wanita muda itu. Ia sama sekali tak mengingat wajah Nila lagi. Dia lebih pikun daripada istrinya.
“Ini Nila Pak,” tutur Ibu.

Satu nama itu kembali mengaktifkan memorinya tentang kehidupan di gubuk pada masa silam. Badannya gemetaran. Tak menyangka Nila akan kembali. Ia pun turut haru, dan meneteskan air mata. Mendekat lalu memeluk Nila.

Setelah berlalu setengah jam untuk berbagi kisah di atas balai bambu, di beranda rumah, Bapak muncul di sampingnya dari dalam rumah. Ia menenteng sebuah peti kecil yang tergembok. Peti itu berbentuk kubus dan terbuat dari besi. “Ambillah ini Nak. Ini adalah hakmu,” tutur Bapak. 

Setelah kubus itu dibuka, betapa ia tercengang. Isinya uang. Sangat banyak.

“Sudah waktunyalah kami menyampaikan hal yang sesungguhnya tentang dirimu Nak. Kau tak sedikitpun harus terbebani atau merasa durhaka kepada kami. Sebenarnya, kami bukanlah siapa-siapamu Nak. Kau bukan anak kandung kami,” lanjut Bapak. 

Nila terkejut dengan penjelasan Bapak. Kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya. Hanya matanya yang kuasa merespons.

“Kau tak perlu kaget Nak. Uang itu memang hakmu. Sebagiannya kami telah gunakan untuk memenuhi kebutuhanmu sewaktu kecil,” jelasnya sambil menepuk-nepuk lengan Nila. “Uang itu dititipkan seseorang di sampingmu, sewaktu kau yang masih berumur harian, kami temukan di teras rumah kami dahulu. Ambillah Nak.”

“Tapi uang ini seharusnya sudah jadi milik Bapak dan Ibu. Kalianlah ayah dan bundaku sesungguhnya. Setidaknya ini sedikit dari tanda terima kasihku sebab telah dibesarkan dengan baik di rumah kita dahulu. Kalianlah orang tua sejatiku. Maafkan kelakuanku selama ini, Bapak, Ibu,” balas Nila.

Di sela perbincangan kami yang penuh haru. Pintu terketuk. Suara berat lelaki mengucap salam. “Ada siapa Bunda?” tanya lelaki berbadan tegap yang berjalan menghampiri mereka.

“Sini Nak. Kamu masih ingat tidak dengan perempuan ini,” jawab Ibu.
“Nila…! Ya. Kamu Nila kan?” tebaknya.

Nila hanya mengangguk, lalu menjabat tangannya.

“Kok Bapak dan Ibu tinggal di rumahmu?” tanya Nila pada lelaki yang pernah dibencinya itu.

“Rizal itu anak kandungku Nak Nila,” jawab Ibu.

Satu rahasia baru di balik gubuk, terungkap lagi. Baru Nila tahu kalau lelaki yang akan dijodohkan dengannya dahulu adalah anak kandung Ibu. Ibu adalah janda beranak satu saat Bapak mempersuntingnya. Begitulah. Kehidupan memang tak ubahnya rahasia. Penuh kejutan kala tersingkap. Tapi tidak untuk rahasia Nila. Ia bertekad tetap memendamnya. Tentang ia yang terlibat dalam penggusuran gubuk kenangannya, juga tentang ia yang telah menikah demi mengecap gemerlap dunia di kota. 

Akhirnya, setelah dua bulan berjalan, Nila dan Rizal menikah. Selama ini, lelaki berkulit gelap itu tetap mengharapkan Nila menjadi istrinya. Kini mereka, Ibu, dan Bapak jadi keluarga seutuhnya. Tak ada lagi sekat-sekat. Kehidupan dijalani untuk kebahagiaan bersama. Termasuk tentang uang titipan itu. Nila berniat menggunakannya untuk membangun rumah layak huni bagi mereka semua, di lahan tempat gubuk kenangannya dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar