Selasa, 15 Desember 2015

Membedah Akar Kemiskinan



Judul: Bebas dari Neoliberalisme; Penulis: Mansour Fakih; Penerbit: INSISTPress; Tahun Terbit: 2003; Jumlah Halaman: 161.

Indonesia penuh dengan ironi, termasuk di bidang perekonomian. Negara ini kaya sumber daya alam, tapi warganya banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan dasar saja susah payah. Jangankan sandang dan papan layak, pemenuhan kebutuhan atas pangan saja masih semrawut. Padahal tak diragukan lagi bahwa tanah air Indonesia sangat menghidupi. Segala macam jenis tanaman bisa tumbuh subur. Meski begitu, masih banyak anak bangsa yang menganggur. Terpaksa menggelandang sebagai pengemis demi bertahan hidup. Tak ada pekerjaan. Padahal segala sektor potensial untuk dikembangkan jadi lapangan pekerjaan di negara ini, termasuk pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan, dan industri.

Kini, kehidupan kebangsaan masih mempertontonan fenomena anak negeri yang busung lapar. Bak tikus mati kelaparan di lumbung padi. Sangat memiriskan. Indonesia hanya negara agraria di atas kertas. Buktinya, para petani di desa merantau ke kota untuk menjual tenaganya. Tanah di desa dianggap tak lagi menghidupi. Sumber daya alam pedesaan terpaksa diabaikan. Arus urbanisasi jadi tak terbendung. Imbasnya, terjadi penumpukan sumber daya manusia di perkotaan. Pengangguran akibat perebutan lapangan kerja di perkotaan pun terjadi. Padahal, beragam potensi lapangan kerja bisa digarap di pedesaan.

Apa yang jadi pangkal permasalahan sejumlah fenomena memilukan di atas, apakah warga pedesaan malas dan tak berpendidikan sehingga tak bisa mengelola kekayaan alam pedesaan? Jawabannya tidak! Setidaknya, itulah jawaban yang dapat kita simpulkan jika membaca buku garapan Mansour Fakih berjudul Bebas dari Neoliberalisme. Buku ini mampu membuka cakrawala pemikiran bahwa kemiskinan rakyat, terutama di Indonesia, disebabkan oleh agenda-agenda kapitalistik dalam ranah globalisasi. Masyarakat pedesaan tak bisa lagi mengharapkan penghidupan layak dari tanah garapannya. Tanah negeri berdasarkan sistem, tak lagi diperuntukkan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi telah digadaikan kepada para pemilik modal. Dikelola oleh perusahaan agribisnis demi efisiensi setinggi mungkin. Lahan luas jadinya hanya dimiliki segelintir orang, sedangkan rakyat yang tergusur dari lahannya terpaksa jadi buruh tani, ataukah mencari perkerjaan lain. 

Membaca buku tulisan Penulis yang lulusan Fakultas Filsafat dan Teologi-IAIN Syarif Hidayatullah ini, akan memberikan pencerahan bahwa kemiskinan manusia di negara dunia ketiga disebabkan oleh faktor eksternal. Kemiskinan terjadi secara sitematis dan terstruktur. Ada sistem yang telah dirangcang negara-negara kapitalis untuk mencerabut hak-hak warga di negara berkembang atas perekonomian yang berkeadilan sosial. Negara kapitalis itu berusaha melindungi kepentingan perusahaan transnasionalnya untuk mengeruk keuntungan di negara lain. Mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya dengan memperalat sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara berkembang dengan instrumen regulasi dan organisasi. Sistem yang belakangan digaung-gaungkan sebagai solusi terbaik di dunia modern itu, namun sebenarnya bentuk baru penjajahan, disebut sistem perkonomian neoliberalisme. 

Buku ini mampu memberikan pemahaman akan dimengerti seluk-beluk neoliberalisme. Argumentasi penulis dituliskan secara padat dan jelas. Berdasarkan sejarah yang dituangkan penulis dalam buku, paham liberalisme sebagai induk neoliberalisme yang sama-sama berintikan persaingan bebas, tumbang akibat krisis atau bencana depresi di masa kolonialisme pada tahun 1930-an. Selanjutnya, muncullah paham pembangunanisme (disebut juga kapitalisme negara atau state-led development). Paham ini dipelopori ekonom berkebangsaan Inggris, John Maynard Keynes. Inti pahamnya adalah memberikan kekuasaan kepada pemerintah negara untuk melakukan pembangunan semaksimal mungkin. Ironisnya, demi kepentingan pembangunan itu, pemegang kekuaaan negara malah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi warga negaranya sendiri. Misalnya, penggenjotan pembangunan sektor pertanian di pedesaan melalui program Revolusi Hijau. Dinilai sebagai solusi, program bernapas paham pembangunanisme tersebut malah merusak kelestarian lingkungan, serta melanggar hak kepemilikan warga atas lahan untuk kesejahteraannya. 

Pada paham pembangunanisme, secara kuantitas, perekonomian negara bertumbuh, tapi di tingkatan grass root, masyarakat banyak melarat. Paham ini sempat diadopsi di masa Orde Baru yang dimasukkan dalam program Repelita. Pembangunan pun melaju, namun di sisi lain, masyarakat pedesaan banyak yang kehilangan lahan dan jatuh miskin. Lahan dimiliki segelintir orang bermodal. Potensi alam dan masyarakat pun dikeruk seiring KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi di mana-mana. Akhirnya, paham ekonomi model pembangunanisme yang mendatangkan bencana itu, runtuh pada tahun 1997. Penyebabnya lain runtuhnya paham ini adalah akibat ditenggelamkan oleh paham liberalisme baru (baca: neoliberalisme). Para penganut paham neoliberalisme merasa kepentingan mereka terkekang akibat otoritas negara yang terlalu banyak mengatur. 

Neoliberalisme merupakan pembaruan dari paham liberalisme yang pernah berjaya di zaman kolonial. Bedanya, sebab neoliberalisme lahir di zaman globalisasi dengan aktor penggeraknya adalah perusahaan transnasional, bukan negara. Negara hanya tameng. Pokok paham ini adalah memperjuangkan laissez faire (persaingan bebas dalam percaturan ekonomi), demi kepentingan hak-hak individualis. Jadi, paham neoliberalisme adalah bentuk baru liberalisme yang dikembangkan dari buah pikir ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya berjudul The Wealth of Nations (1776). Intinya pahamnya adalah menghapus intervensi pemerintah dalam bidang perekonomian. Melanggengkan persaingan bebas di bidang perekonomian. Secara umum, penganut paham neoliberalisme berkeyakinan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik jika dilakukan beberap hal, yaitu: biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan memangkas pengeluaran negara yang tidak produktif semacam subsidi, deregulasi di bidang ekonomi, privatisasi sektor-sektor publik, dan kembangkan paham individualis.

Perkembangan paham neoliberalisme adalah buah dari propaganda perusahaan transnasional atau Trans National Corporation (TNCs). TNCs memperalat lembaga internasional, berupa IMF (International Monetary Fund) yang dibentuk pada Desember 1945 dan Bank Dunia yang dibentuk pada Juli 1944. Dua lembaga ini digunakan untuk mengikat negara berkembang dengan memberikan utang, sehingga mau tak mau harus melaksanakan agenda neoliberalisme. Selain itu, TNCs juga mengupayakan globalisasi terjadi di sektor perekonomian dengan membentuk kawasan kerja sama perekonomian, seperti Otorita Batam, NAFTA, AFTA, APEC, BIMPEAGA, dan SIJORI. Melalui instrumen kawasan tersebut, TNCs akan lebih mudah menginvasi perekonomian sebuah negara melalui proses ekspor-impor. Salah satu pencapaian besar agenda neoliberalisme adalah penandatanganan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1947. GATT inilah yang menjadi dasar pembentukan IMF, Word Bank, dan sebuah organisasi perdagangan dunia nantinya. Setelah melalui proses perundingan dan pembaruan atas GATT, akhirnya pada pertemuan tingkat menteri negara-negara peserta (Contracting Parties) GATT di Maroko, April 1994, disahkanlah Final Act yang memuat kesepakatan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade Organisation) Organisasi itu resmi didirikan pada Januari 1995. Di bawah naungan WTO, GATT membuat program TNCs semakin kuat untuk memperluas dampak neoliberalisme. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu pendiri WTO pun telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU No. 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization. Tidak sebatas itu, penyesuian regulasi mengikuti pahan neoliberalisme juga dilakukan di bidang pertanian, kehutanan, kekayaan intelektual, pendidikan, kesehatan, migas, air, dan lain-lain.

Pertanyaannya, apakah paham neoliberalisme akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat serta menciptakan kesejahteraan sosial yang adil? Dalam buku ini, Penulis menyuguhkan argumentasi bahwa persaingan bebas dalam bidang ekonomi akan berdampak buruk. Propaganda bahwa persaingan bebas akan menjamin pangan murah, pengan aman dikonsumsi, hak kaum perempuan terlindungi, kekayaan intelektual terlindungi, konsumen bebas memilih di antara banyak pilihan: semuanya hanya mitos. Hal itu karena masyarakat kecil tidak akan mempu bersaing dengan TNCs. Masyarakat hanya dijadikan objek untuk kemajuan TNCs. Mereka akan tergilas roda persaingan bebas. 

Secara umum, dalam buku karyanya, Penulis mampu memaparkan hasil kajian mendalam tentang neoliberalisme dari apek sejarah, latar belakang, agenda-agenda terselubung, tujuan, bahanyanya, hingga menawarkan rencana perlawanan secara struktural. Setelah khatam membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan pencerahan bahwa fenomena kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia dan bangsa di negara berkembang lainnya, adalah akibat sistem perekonomian yang dirancang berdasarkan paham neoliberalisme. Bahwa rakyat miskin tak selayaknya disalahkan atas penderitaan mereka dengan alasan mereka malas atau tak berpendidikan. Kemiskinan mereka adalah buah dari bentuk penjajahan baru para TNCs.

Di bagian akhir buku ini, Penulis menyuguhkan argumentasi yang menarik terkait pertanyaan, kenapa kita harus menentang paham neoliberalisme. Sejumlah tawaran solusi pun dipaparkan, misalnya melalui penguatan civil society untuk melakukan social movement menentang setiap agenda berbau neoliberalisme. Untuk itu, sumbangsih LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dibutuhkan dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat terkait bahaya neoliberalisme. Meski begitu, buku ini belum menyentuh persoalan bagaimana sistem perekonomian yang sebaiknya, yang mampu mewujudkan perekonomian yang berkeadilan bagi masyarakat. Belum sampai pada sistem apa yang akan dibangun setelah neoliberalisme berhasil ditumbangkan. Meski begitu, buku ini, dengan apiknya telah berhasil membuka cakrawala pemikiran kita terkait akar permasalahan kemiskinan secara lebih luas. Buku ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan untuk memperoleh satu buah pemikiran dari Penulis, tentang bagaimana langkah tepat untuk mencerabut kemiskinan dari akar permasalahnnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar