Minggu, 20 Desember 2015

Buta!


Mereka pasti sangat bahagia. Hari ini, pernikahan mereka dilangsungkan. Penuh kejutan. Sebagaimana layaknya orang menemukan jodohnya. Mengesankan. Telah berhasil menyibak tabir rahasia yang dirisaukan separuh hidup. Sangat mengharukan pastinya. Seakan menjadi raja dan ratu. Duduk berdua di singgasana. Menatap masa depan berdua, di antara banyak pasang mata yang menyiratkan pesan. Ada yang turut bahagia, tapi ada juga yang kecewa, sebab harapannya untuk memiliki satu di antara mereka, kandas selamanya. Entahlah. Yang pasti, sudah tak akan ada yang boleh mengusik, karena ijab telah dikabul. Pintu hati telah tertutup untuk pendatang tak terhingga.

Keputusan Azra tak disangka banyak orang. Lelaki mapan dan tampan itu rela menambatkan hatinya pada Niza, seorang wanita yang dipandang tak serasi dengannya. Tekad Azra benar-benar kuat. Tak dihiraukannya gunjingan orang-orang tentang tampakan fisik sang istri. Cintanya sudah terlanjur terikat pada Niza, perempuan yang jauh dari kesan rupawan. Sebelah kanan pipinya, hampir mencapai bagian depan wajahnya, penuh dengan luka bakar. Membuat lesung pipinya yang dalam jadi tersamarkan. Sisi kanan kepalanya juga tak lagi ditumbuhi rambut. Jika tak ditutupi dengan bahan tata rias dan pernak-pernik mode, ia akan tampak menyeramkan. Tapi semua tak dipermasalahkan Azra. Ya, cinta memang buta.

“Aku mohon, menikahlah denganku Niza. Aku sungguh-sungguh,” pinta Azra lewat telepon, sehari sebelum lamaran.

Niza hanya diam tertegun. Menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara tertahan-tahan. Sukmanya bergetar menggigil. Bak salju tiba-tiba mengguyur badannya. “Tapi…. Tidak Azra! Kau tak seharunya mengucapkan itu. Tak seharusnya kau terbebani atas kejadian yang menimpaku. Lagi pula, tak ada yang bisa memastikan bahwa musibah itu terjadi karena kesalahanmu. Cukup sampai di sini saja. Kau tak perlu memusingkan tentangku. Demi Tuhan, aku tak pernah menyalahkanmu atas semua ini, Azra,” balasnya.

“Tidak Niza. Aku benar-benar mengharapkanmu. Perasaanku tak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Sebelum ataupun setelah keadaanmu seperti sekarang, aku selalu mencintaimu. Sedikit pun tak berubah. Niza, aku ingin kau jadi istriku, bukan karena rasa bersalahku terhadapmu. Aku sungguh-sungguh Niza,” balas Azra terbata-bata.

Di ujung telepon, Niza hanya menangis. Tak berkata apa-apa lagi. Sambungan telepon lalu terputus. Sikap diam dan tangisan Niza itu dianggap Azra sebagai bentuk keharuan. Pernyataan kalau Niza menerima permohonannya. Keesokan harinya, lamaran pun dilangsungkan. Semua berjalan lancar, hingga akhirnya mereka benar-benar menikah. 

Niza menceritakan detail kisahnya dengan Azra padaku.

***

Sebelumnya, tak ada yang menduga bahwa Niza dan Azra memiliki perasaan yang saling berbalas. Bahwa secara diam-diam, hasrat mereka tinggi untuk saling memiliki. Mereka kukuh memendam perasaan masing-masing. Tindak-tanduk di antara mereka penuh dengan intrik pengalihan. Saking senyapnya, orang-orang menduga tiap-tiap mereka punya sosok harapan lain. Bukan antara mereka berdua. Benar-benar tak tampak, kecuali bagi orang yang bisa membaca pesan tersirat dari mata. 

Sulit menepis bahwa Niza dan Azra memendam perasaan yang sama. Mereka terlihat aneh saat saling berkomunikasi. Sulit mencair. Seperti ada unek-unek yang mengganjal. Tapi kejujuran mereka untuk saling memuji terbaca dari mata. Kuncinya di mata. Jika saja Niza tak punya wajah elok, Azra tak akan tertarik memandanginya selalu, hingga membuat wanita lain cemburu. Niza memang idola. Bak gula pasir dalam stoples. Sisa membuka diri untuk direnggut semut-semut. Tapi entah kenapa, Niza suka meredupkan cahanyanya. Bersembunyi di balik mendung. Mungkin menanti Azra menunjuk satu bintang. Entah dia atau bukan.

Dua bulan sebelum pernikahan mereka pun, tak ada tanda-tanda. Semua terjadi begitu cepat. Padahal, Niza diduga akan berlabuh di pelukan lelaki lain, Arnan. Alasannya, di malam perpisahan setelah wisuda, saat perkemahan di tengah pendakian gunung, Arnan tampak mendekat pada Niza. Terlihat serasi. Tapi Niza tak menghiraukannya. Di sisi lain, Azra tak memperjelas arah labuhan jiwanya. Ia betah kesepian. Membiarkan jiwa-jiwa hawa tergantung tanpa kepastian darinya. Mungkin menanti akhir cerita Arnan dan Niza.

Di malam perkemahan itu pula, tragedi mengenaskan terjadi. Peristiwa yang merenggut keayuan wajah Niza. Saat semuanya tengah lelap tertidur karena kelelahan menempuh setengah jalan pendakian, tenda pihak perempuan yang dihuni dua orang terbakar. Api cepat merambat, hingga membakar bagian kanan tubuh Niza. Melepuhkan pipinya dan menghanguskan sebagian rambutnya. Kejadian itu pun akan menyisakan membekas di wajahnya seumur hidup. 

Tak ada yang tahu dari mana asal api malam itu muncul. Jelas-jelas bara api unggun telah dipadamkan. Alibi bermunculan. Satu-satunya kemungkinan adalah api berasal dari puntung rokok. Malangnya, di antara tiga lelaki, hanya Azra yang kecanduan mengepulkan asap beracun itu. Tak ayal, tuduhan ditimpakan padanya. Apalagi di malam itu, Azra paling akhir masuk tenda. Ia keasyikakn mengisap rokok sembari memandangi belantara hutan di lembah. Memang tak ada yang bisa memastikan penyebabnya. Tapi tuduhan itu sulit dibantah Azra.

“Azra, ini semua atas keteledoran kamu! Akui saja. Malam itu kamu merokok kan? Pasti puntungnya kau buang sembarangan. Hah, dasar! Pokoknya, kau harus bertanggung jawab,” gerutu Arnan pada Azra sesampainya di rumah sakit.

Azra hanya tertunduk. Mengacak-acak rambut bagian belakangnya. Gelisah. “Ok, ok. Semalam aku memang merokok. Tapi yang pasti, puntungnya sudah benar-benar aku padamkan. Sumpah!” balasnya. “Terus terang, aku tak bisa membantah kemungkinan itu. Tapi aku minta, jangan juga kau pastikan kalau puntung rokokkulah sumber petakanya.”

Arnan hanya berdecak dan berlalu pergi. 

“Sudahlah Azra. Kata-kata Arnan tak perlu kau hiraukan. Kau tahulah bagaimana dia. Bisa jadi juga, sikapnya berlebihan begitu sebab musibah ini melukai Niza,” nasihatku malam itu.

***

Dahulu, di awal tahun kedua kuliahku, di semester tiga, aku mulai memendam perasaan kepada seorang lelaki. Dia seangkatan denganku. Namanya Azra. Karena dia juga, aku memutuskan bergelut dalam sebuah organisasi kesenian di kampus. Agar tak kikuk, kuajaklah teman baikku, Niza, untuk turut bergabung. Hari-hari pun kulewati dengan sejuta kebahagiaan bersama teman-temanku, terutama dengan Azra. Aku selalu ada alasan untuk dekat dengannya. Senang bisa mamandang senyumnya yang meneduhkan setiap waktu. 

Kupendam perasaanku pada Azra dalam-dalam. Di organisasiku, sesama pengurus tak baik jika terlalu dekat secara keterlaluan. Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa ada yang berbeda antara Azra dengan Niza. Hubungan mereka tampak aneh. Jika teman-teman seorganisasi bercanda secara mencair, mereka malah saling segan. Kubaca, Azra tertarik dengan Niza, bukan denganku! Perasaanku pada Azra pun seakan berubah jadi kanker. Menyisakan penyesalan akibat menumpuk kekaguman padanya sekian lama. Sialnya, tak mungkin kembali pada waktu saat semuanya belum dimulai. 

Sampailah aku pada saat diharamkan memaksakan keinginan. Waktu yang tak pernah aku harapkan. Hari ketika Niza dan Azra duduk bersanding di pelaminan. 

“Rena, kamu datang kan di pernikahan kami? Niza menantimu?” tanya Azra melalui pesan singkat. 

Entah harus bagaimana lagi. Sangat menyakitkan. Diundang lelaki dambaan untuk hadir di pernikahannya? Tak menghadiri pernikahan teman baik? Dilema. Tak pernah kuduga ini akan terjadi padaku. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia. Maaf aku tak bisa hadir. Sampaikan salam dan permohonan maafku pada Niza,” balasku. 

Aku tak mungkin menghadiri pernikahan mereka dengan membawa semua kenangan dan harapanku di masa lalu. Biarlah. Kuharap mereka bahagia. Saat waktu telah mendamaikan keinginanku dengan kenyataan, aku akan menemui mereka dan memohon maaf atas semua yang telah terjadi. Ya, aku merahasiakan dosa besar pada mereka. Akulah pelakuknya; seseorang yang telah merenggut kecantikan wajah Niza di malam pendakian dan berharap Azra tak lagi mengaguminya. Rasa cemburu telah membutakanku. Kini kutahu sudah bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa cinta memang buta. Buta!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar