Selasa, 04 Agustus 2015

Gerimis Salju

Sesak bergumam
Banjir di hulu sukma namun tak terderai di jendela hati
Di penantian tanpa kiblat, tak berarah
Hanya terdiam
Untuk anonim

Senyap
Kala menghitung hari yang menjemukan
Seperti  tak pernah mendung di pelupuk matamu
Sebab tak ada alasan bagiku berarti
Jikalaupun menawarkan tak terhingga helaian penyeka?
Kau tak terluka karenanya, bahkan bahagia

Menarilah, pejamkan matamu
Abaikan saja gemuruh guntur di langit tak terpandang
Sekadar pertanda yang tak mungkin kau artikan
Berontak batin yang bisanya membatin
Kan ada nada beraturan yang mengalun di langit-langit surgamu
Dia, hanya dia, si pendahulu

Sungguh, percuma mengutuk waktu yang tega
Menahanku terlalu lama di gurun kerontang
Menakdirkan sepasang mata yang kuharamkan bersenda-gurau
Kala itu, waktunya kau bersedu-sedan karena kodratmu
Diluluhkanlah beku manjamu tanpa perangku
Olehnya, hanya dia, si pendahulu

Mustahil kita
Seperti tak kembali waktu yang terus berlari
Menampakkan hari-hari yang tak didoakan
Dan sinar surya menyengat
Mengeringkan samudera yang menuliskan hasratku
Tak kau ejalah omong kosong itu
Sungguh tak perlu

Salahnya kurangkai angan tanpa akad
Jadi runtuhkan saja rumah kecil itu
Hanyutkan di penghujung ruang sana
Karena kutahu, yang tak ingin kutahu, tapi aku harus tahu
Bahwa tentang kita yang saling menunggu, hanyalah ilusi liarku
Aku saja, buka kau

Nanti, berjalanlah suatu waktu kalian
Berdua segenggam kala waktunya
Di gurun tempatku tersesat dahulu
Kau tahu?
Di sana berguguran gerimis salju yang kau dambakan
Tertumpuk dan terkikis, entah bagaimana akhirnya
Untuk sepenggal cerita yang tercuri darimu
Terima kasih dan akan tetap hidup
Aku, hanya aku