Selasa, 30 Juni 2015

Nada Kita

Sudah lama kita saling mengenal. Di awal pertemuan, sekitar empat tahun lalu, aku sama sekali tak punya kesan terhadapmu. Kau orang yang tertutup dan berbicara sehematnya. Kau akan menjawab ketika ditanya, tapi pelit bertanya kembali. Sepertinya kau tak punya ketertarikan terhadap orang lain. Jelas, kau bukanlah orang yang nyaman diajak ngobrol. 

Model sepertimu hampir punah sekarang. Kau berbeda dengan titisan hawa lainnya, yang gemar membagikan ceritanya tanpa perlu diminta. Mendongeng ketika sang adam yang dikaguminya mencampakkan. Sedangkan kau, seperti tak berselera berbagi privasi seperti mereka. Kau hanya tentang dirimu saja dalam rahasia. Nampak kau terlihat tak senang ketika orang memuji atau mengulik tentang dirimu. Selalunya mimik datar kau balaskan pada mereka. Coba kuspekulasikan, bisa jadi kau menipu. Menahan lesung pipi kecilmu mengembang, lalu kegirangan di depan cermin saat kau sendiri. Tapi kemungkinan itu sulit tergambarkan. Terlalu sering aku menyaksikanmu konsisten dengan reaksi seadamu, meski orang-orang menghantamimu dangan kata-kata selangit. Tak pelak, dalam hati, aku cenderung yakin para penjilat akan lekas terdiam karena kecuekan responsmu. Sebab itu juga, aku lebih suka menabung tanya dan menyimpan semua pujian terhadapmu, di hatiku.

Kau tahu? Seiring waktu, hingga saat ini, rasa penasaranku semakin menderu-deru. Rasa tak keruan itu membebaniku. Rasa yang mencampuradukkan ketercelaan dan kesempurnaan, kegilaan dan kewarasan, atau kemistisan dan kerasionalan. Hingga seakan aku terlanjur berada di pertengahan pendakian gunung. Ingin mencapai puncak, tapi bekal menipis. Ingin kembali, tapi tak tega menyia-nyiakan perjalanan yang tertempuh jauh. Aku menyesal telah menjajakimu. Kau juga keterlaluan. Menjadi sangat mendamaikan untuk diselami, hingga tak sadar menenggelamkanku. Namun apa daya. Akhirnya kubiarkan saja ketidakpastian itu mempermainkan batinku. Tak pasti waktunya kapan bertanya pendapatmu tentang perasaanku yang sesungguhnya, saat bertanya tentang lagu favoritmu saja aku belum berani. 

Mustahil bertanya detail tentang dirimu, kecuali terkait urusan yang mempertemukan kita, tentang organisasi. Segela perihal tentangmu sangat segan aku pertanyakan, termasuk tentang lagu favoritmu. Walaupun kutahu, kadang kau komat-kamit sendiri saat kuputar lagu kesukaanmu di bilik kecil. Ya, aku tahu tentang itu dari dunia maya, tempatku menelusuri kenyataan hidupmu. Tapi pancingan itu tak sekalipun membuatmu bertutur, memuji bahwa aku punya selera musik yang bagus, sama sepertimu.  

Hanya lagu tuturku kini. Suasana hening saat kita dan teman-teman yang lain di gubuk para kuli tinta adalah kesempatan emas bagiku. Kuputarkanlah lagu yang menurutku tak terlalu menyentak gendang telingamu. Kukesampingkan egoku sebagai penikmat musik cadas. Kalaupun tentang band favoritku yang satu itu, One Ok Rock, aku akan berusaha memilah gubahannya yang kira-kira menyenangkanmu. Seperti kemarin-kemarin, akan kuselipkan lagu band itu di antara band-band favoritmu. Biasanya Wherever You Are atau My Sweet Baby. Aku hanya ingin merekam keberadaanmu dalam nada-nadanya. Kau tahu, setiap kali sebelum tidur, aku akan memutar lagu-lagu itu kembali, hingga kuingat kebersamaan kita di rumah kecil. 

“Copy lagumu.” Tuturmu sambil menyodorkan flashdisk. Aku bahkan tak yakin kau mengucapkan itu.

“Maksudmu? Lagu yang mana?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegiranganku.

Kau hanya menatapku sejenak, sambil mengayunkan sodoran  flashdisk-mu. Kau lalu tersenyum hingga nampak barisan gigimu yang berbaris rapi. “Lagu yang tadi. Yang barusan kau putar,” tuturmu dengan mimik yang asing.

Aku sigap saja mengirimkan lagu itu padamu. Tak kusangka, kau akan sudi mendengarkan lagu itu. Salutku sebab hanya kau yang pernah meminta lagu itu. Entahlah, kau terpaksa suka karena keseringan kuputarkan, atau bisa jadi kau penikmat film kartun dan merasa pernah mendengarkan sebelumnya. Alasannya tak penting bagiku. Cukuplah jika beralasan bagiku membayangkanmu merasakan nuansa yang sama sepertiku saat mendengarkan lagu itu. Mungkinkah kau membawaku dalam suasana langit-langit kamarmu dalam gelap ketika kau memutarnya juga?

Sejak saat kuberikan lagu itu kepadamu, rasa penasaran semakin membuatku terdesak. Tapi mempertanyakan kesanmu tentang lagu itu, aku tak berani. Walaupun sebenarnya itu adalah alasan yang sangat bermartabat memulai percakapan intim denganmu lewat pesan singkat. Apalagi tak mungkin sebaliknya, bahwa kau sekonyong-konyong menyampaikan pendapatmu tentang lagu itu. Setahuku, kau hanya melayangkan pesan singkat kepadaku tentang agenda organisasi dengan bahasa yang datar. Selain itu, tak ada yang lain, apalagi tentang kita. Akhirnya, malam-malam selalu kulewati sebagai pengecut. Seperti biasa, tak kusingkirkan headset di daun telingaku. Dengan begitu, kupikir jika beruntung, lagu itu akan membawa dirimu ke dalam mimpiku.

                                                         ***

Terlihat diriku lalu-lalang sendiri. Dengan penuh bimbang, sesekali aku mengecek handphone di atas meja belajarku untuk memastikan adakah balasan darimu. Sangaja ku-silence karena aku mendadak jadi phobia akan mendengarkan nada dering handphone-ku. Pasalnya, terlanjur kukirimkan pertanyaan pribadi padamu: “Apa kau suka dengan lagu yang sudah kuberikan padamu?” Tapi berselang tiga puluh menit, rasa-rasanya kau tak akan membalas pesanku. Entahlah kau telah membacanya atau tidak. Sangat menjemukan. Andai bisa aku menyusup seperti hantu, akan kuhapus pesan itu di handphone-mu. Tapi mau diapa, nasi sudah jadi bubur. Ketenangan tak akan membawaku terlelap sebelum ada jawabmu. Lewat tengah malam, sepertinya tak elok wanita kalem sepertimu membalas pesanku. Aku harap kau tengah tidur pulas. 

Saat berbaring di kasur menanti balasanmu, layar handphone-ku menyala. Dengan rasa tak kuasa, kuketik tombol menuju daftar kotak masuk dengan mata tertutup. Aku sudah menghafal langkah-langkahnya. Kubuka mataku perlahan, hingga terlihat nama kontakmu, MSB, kependekan dari My Sweet Baby, julukan rahasiaku untukmu. “Aku suka Wherever You Are. Aku mendengarkannya sampai ketiduran, sampai telat baca SMS-mu. Aku suka bagian reff-nya: ‘Wherever you are I always make you smile’. Kesannya dalam. Kau sedang mendengarkannya juga kan? Kau suka bagian mana?”

Tak kusangka, ternyata selama ini dugaanku benar. Kau pendam rasa yang sama sepertiku. Kau tahu, aku sangat kegirangan. Otakku cepat bekerja. Kukonsepkan balasan yang tepat untukmu. Biarlah aku mengulur waktu agar kau tak menganggapku bagitu ingin menjual. Hitung-hitung, kubuat juga kau penasaran menunggu balasan atas tanda tanyamu. Kucoba membiarkan sepuluh menit berlalu. “I don’t need a reason, I just want you baby. Bagaimana menurutmu?” tulisku, lalu mengklik menu Kirim dengan begitu tak tega.

Berselang dua menit, kau ternyata sigap membalasnya. “Haha. Bagian itu menarik juga. Kau tahu di mana bisa dapatkan kaset One Ok Rock?” 

Aku kecewa. Ternyata kau tak memahami maksudku. Sengaja kupilih bait itu untuk jujur tentang kesimpulan tanya yang kupendam selama ini. Aku ingin kau menganggapnya bukan sekadar lirik, tapi ucapanku sesungguhnya. Tapi sudahlah, kali ini, aku tak ingin membuatmu menunggu. Kuusahakan membalasnya secepat kilat, sepertimu. Tak sudi aku menunda tidurmu hingga memperparah penyakitmu. Kau tak baik begadang. Akan kuberikan kasetku untukmu segera! “Nanti aku carikan. Aku senang kita suka musik yang sama. Terima kasih sudah mencoba. Selamat menjelang tidur,” balasku.

Siang hari tiba. Kutemui kau pagi-pagi di bangku taman kampus. Aku sengaja memintamu bertemu di sana. Takut jika di istana pengukir sejarah, kita akan menjadi bahan pembicaraan teman-teman. Tak ingin juga jika dipikirnya mereka, kita telah melangkah terlalu jauh, hingga membuat para pengharapmu cemburu buta. 

“Ini kaset yang aku janjikan semalam.” 

Kau hanya senyum tersipu. Jika seperti itu, kau semakin mengggemaskan. Sungguh! “Terima kasih,” tuturmu singkat sambil menyambar kaset itu. Kau pun berbalik dan hendak bergegas pergi.

Hey, bagaimana jika aku menginginkanmu tanpa alasan?”

Kau pun berbalik kembali, terdiam menatapku, seperti melihat bintang tiba-tiba jatuh di hadapanmu. Kau hanya terdiam.

“Bangun…, bangun…! Kau tak kuliah hari ini?” Sangat menyesalkan. Suara itu mengganggu suasana kita. Suara kakakku di luar pintu kamar rumah, tembus hingga ke kampus. Aneh. Segera kucari dari mana arahnya, hingga sadarku pulih. Ah, ternyata tentang kita dan perasaanku itu hanya mimpi. Sungguh memuakkan!

Akhirnya, keesokan hari kita kembali bertemu di rumah kecil. Seperti biasa, kau masih saja terlihat biasa. Keseringan menunduk dan menyorot huruf-huruf di buku bacaanmu yang sangat ilmiah. Tak ada tanda-tanda kau terkesan dengan lagu-lagu yang kau minta sendiri. Keadaan itu bertahan sampai saat ini, dua tahun setelah lagu itu kuberikan. Entahlah, apa kau menikmatinya atau hanya sekadar mendengarkannya. Atau malah sekadar kau simpan di laptopmu dan terhapus tanpa kau tahu.

Sudahlah, aku cukup berharap kita menyiratkan cerita kebersamaan dari setiap suasana yang kita rasa, termasuk lewat lagu. Entah di lagu mana kau merekam tentangku, apakah di lagu Sahabat Sejati-Sheila On 7, Kumenanti Seorang Kekasih-Iwan Fals, Aku Rindu-Dudi, Kubenci Kau dengan Cintaku-Tito, ataukah Darah Juang. Terserah kamu. Yang pasti, jika nada lagu dan perasaan itu sama indahnya, biarkan saja berpadu. Kupikir, indra pendengaran tercipta juga untuk mendengar tentang keindahan, maha karya dari-Nya. Jadi jangan melarangku mendengarkan lagu itu berulang-ulang dan membayangkan tentangmu, tentang kita, kalaupun kau tahu.