Rabu, 04 Desember 2013

Kemunafikan Cinta Membutakan


Sengaja kubuat raut wajahku berdusta. Setiap pujian selalu kusikapi dengan dingin. Kukatakan kalau aku hanya orang biasa yang punya cela, meski dalam hatiku sangat merasa tersanjung. Kupikir jika menyombongkan kesempurnaan, yang ada malah dihinakan nantinya.
Aku terus saja merendahkan diriku, tampil sesederhana mungkin, meskipun aku sebenarnya mendambakan pujian yang lebih dari sikapku itu. Dan berkatalah mereka kalau aku tampan, cerdas, dan menyenangkan. Semua pujian semakin meninggikan nilai pribadiku, hingga tak sulit bagiku menaklukkan wanita pujaan lelaki di kampusku, termasuk juga Rani.
Aku seperti ditakdirkan memilih sendiri pendamping hidupku. Termasuk juga, aku bebas menolak tawaran perasaan seorang wanita kepadaku. Rima, teman dekatku di kampus, wanita yang cerdas dengan paras yang kurang menarik, pernah kutolak cintanya. Meski begitu, ia tetap mengulang pernyataannya untuk mengetuk pintu hatiku.
Suatu hari, Rima bertanya padaku untuk ke sekian kalinya, “Za, mungkin tidak, kau mencoba untuk menerima aku apa adanya?"
Aku benci mendengar pertanyaannya itu. Ingin aku membuatnya yakin jika aku benar-benar tak punya sedikit pun rasa padanya. Maka kukatakanlah dengan nada tinggi, “Kau sadar tidak sih! Aku tidak akan tertarik kepada orang jelek sepertimu!"
Setelah itu, dia tidak pernah lagi mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ia mulai sadar diri, meski ia tak sedikit pun merasa cangung kepadaku. Dan aku berharap ia tak tersakiti karenaku, serta bisa memperlakukan aku sebagai teman baiknya saja, selamanya.
Hingga akhirnya, aku pun tertarik kepada seorang mahasiswi cantik. Namanya Rani. Ia mahasiswi pindahan beberapa dari kota seberang. Dia seakan menjadi idola mahasiswa di kampusku. Dia memang menarik dan sangat ramah kepada siapa pun, termasuk aku. Poninya, mata sipitnya, lesung pipinya, bahkan cara bertuturnya, sungguh memesona.
Sampai suatu hari, tanpa kuduga, ia menemuiku dan bertanya mengenai tugas kuliahnya. Aku pun merasa tersanjung, sekaligus deg-degan. Tapi aku berusaha menyikapi tingkahnya secara wajar, sebab ia memang tampak dodoh, sehingga perlu menanyai mahasiswa cerdas sepertiku. Dan kukira, ia akan beruntung jika mendapatkan cintaku.
Hari berganti, dia semakin sering mendatangiku. Aku jadi besar kepala. Mungkinkah dia menyukaiku? Jika itu nyata, pasti banyak laki-laki yang akan cemburu. Entah sudah berapa tawaran cinta dari laki-laki untuknya, tapi sama sekali ia tak menggubris. Sedang untukku, ia malah mendekat sendiri. Dan kutaksir, ia ingin menjadi pemenang di antara wanita yang ingin mendapatkan perhatianku, sebagaimana aku ingin menjadi pemenang di antara lelaki yang ingin mendapatkan perhatiannya.
Waktu terus bergulir. Pada sore hari, aku sengaja menyendiri di taman kampus selepas kuliah. Keadaan itu biasanya mengantarkan si cantik di sampingku. Tepat jam 4, ia pun datang  menghampiriku. Setelah menyodorkan sekaleng minuman, ia lalu melayangkan satu senyuman manis. Dan seperti biasa, aku pun menanyakan soal tugas kuliah apa lagi yang hendak ia tanyakan.
Tapi tiba-tiba, ia menyergah, “Tidakkah kau berpikir apa alasanku sering mendatangimu?”
Aku yakin jawabannya karena ia menyukaiku. Sejak tiga bulan mengenalnya, pertanyaan ini yang selalu kunantikan. Apalagi, aku sangat kesulitan menyatakan perasaan lebih dulu. Namun seperti biasa, aku mencoba terlihat abai. “Ada tugas lagi, kan?”
“Sudahlah, kali ini aku benar-benar bukan soal tugas. Kali ini, aku ingin...," kata-katanya tersendat, dengan mata berkaca-kaca yang menatapku begitu dalam. "Aku ingin bilang..., aku suka padamu!”
Sontak, aku merasa terkejut. Senarsisnya aku, sungguh tak kusangka kalau perkiraanku memanglah benar. Seketika, aku jadi gugup. Namun tetap kuupayakan juga untuk membalas sewajarnya, “Sebenarnya, aku juga suka padamu sejak kemarin-kemarin," tuturku, sembari menguatkan diri untuk beradu tatapan. "Aku mencintaimu sejak pertama kali berjumpa!"
Ia pun tampak terkesima. Ia lalu tertunduk, tersipu malu.
Beberapa waktu berselang, kami hanya saling mendiamkan. Seperi sama-sama belum yakin kalau kami telah melalui tahapan tersulit dalam menjalin hubungan.
Kemudian, sepanjang waktu setelahnya, aku pun menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan. Dia yang begitu berharga bagiku, menjadi pengiring jalanku. Pulang-pergi kuliah, kami selalu bersama, layaknya raja dan ratu. Dan tak bisa dimungkiri, bertebaran mata-mata insan yang menatap kami dengan perasaan cemburu.
Sampai akhirnya, waktu mengubah keadaan begitu cepat. Setelah tiga bulan kebersamaan kami, ia lenyap entah ke mana. Sedang aku di sini, masih terus memimpikan dan mengkhayalkannya saja. Aku rindu pada raut wajahnya yang ceria. Aku rindu kala ia bertingkah aneh hanya untuk memancing senyuman dan tawaku. Dan karena itu, aku terus mencarinya, meski ia mungkin tak melakukan hal yang sama untukku.
Kejadian sebulan lalu memang mengubah segalanya, termasuk sikapnya padaku. Kecelakaan telah merenggut ketampananku, yang sedari dulu kuandalkan dan kubangga-banggakan pada khalayak. Ada bekas luka yang melebar di pelipis kananku, sampai menyasar sisi kelopak mata dan alisku, hingga membuatku jadi tampak menyeramkan.
Dan hari demi aku, aku pun kehilangan pujian dan penghargaan dari orang-orang, termasuk dari seseorang yang telah bersepakat untuk menjadi kekasihku. Hingga kusaksikanlah dengan mata kepalaku sendiri, kala ia bergandengan tangan dengan lelaki lain saat aku masih harus berjibaku untuk menerima keadaan diriku sendiri.
Segalanya telah berubah. Kini, sepanjang waktu hanya menghadirkan siksaan batin bagiku. Aku malu atas diriku sendiri. Aku tak kuasa lagi beradu tatap dengan orang lain dan lebih keseringan menunduk. Aku ingin sembunyi dari mata orang-orang yang senantiasa menilai fisik. Maka selepas kuliah, aku pun bergegas pulang, kemudian menepi di dalam kamar, seorang diri, bersama luka-luka pada segenap diriku.
Dalam kondisi yang memilukan, sungguh, aku membutuhkan kehadiran seorang teman. Aku ingin membagikan keluh-kesah hati yang akan membuatku merasa tak sendiri menanggung beban hidup. Dan kupikir, aku akan merasa berarti jikalau ada seorang saja yang sudi menjadi temanku. Tapi entah pada siapa pula aku harus berharap. Selama ini, aku memang tak pernah berteman baik dengan siapa pun, sebab aku terlalu percaya diri untuk mejalani hidup tanpa mengandalkan siapa-siapa.
Aku pun menyerah pada keadaan. Jika tak ada lagi orang yang peduli pada kehidupanku, maka tak ada pula yang akan peduli pada kematianku. Aku punya hak atas diriku sendiri, sebab tak ada lagi orang yang merasa berhak memiliki diriku. Maka, aku pun memutuskan untuk menyambut kematian dan mengakhiri penderitaanku. Aku berhasrat pergi untuk selamanya, tanpa memberi kesempatan kepada dia, Rani, untuk meminta maaf atas perlakuannya padaku.
“Reza, Apa yang kamu lakukan?” seru seseorang dari arah belakangku. Dari suaranya, seketika, aku mengenalnya: Rima.
Perlahan aku menoleh padanya, “Untuk apa kau datang?" tanyaku, lalu mengalihkan pandangan ke arah bawah, pada deretan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya.
Ia terdengar melepas menangis. "Aku mohon, jangan lakukan tindakan bodoh, Za!"
Aku bergeming. "Kau tak akan bisa membayangkan rasanya dihina dan dicampakkan seperti aku. Tak akan," kataku, sambil tetap berdiri di tepi sebuah bangunan bertingkat.  "Pulanglah! Nasihatmu tak akan membuat takadku surut!”
Isakannya terdengar semakin menjadi-jadi. “Pernahkah sejenak kau membayangkan perasaanku yang kau campakkan?" suaranya yang lirih, tertahan sejenak, kamudian melanjutkan, "Kau telah menghancurkan perasaanku secara hina, tapi aku bisa menerima keadaan diriku sendiri, bahwa kau memang tak bisa mencintaiku. Lalu, Jika aku bisa bertahan, kenapa kau tidak?”
Seketika, aku teringat pada perlakuanku kepadanya dahulu. Dan perlahan, aku sadar telah melukai perasaannya, sebagaimana Rani melukai perasaanku. Lalu dengan hati yang meriut kecil, aku pun tertunduk malu pada diriku sendiri. "Sudahlah..." Aku mencoba mengelak lagi.
Detak langkahnya terdengar menghampiriku. “Za, hidup memang tak selalu seperti yang kita mau. Begitu pula cinta, yang bukan berarti memiliki," katanya, yang tampak berdiri di serong sisi kananku. "Aku mencintaimu, tapi pasrah untuk tidak memilikimu. Itu karena aku memahami bahwa cinta tak melekat pada perkara fisik. Cinta itu abadi, meski yang dicinta telah mati atau lenyap dimakan waktu."
Aku jadi tersetuh mendengar perkataannya. Sepintas, kulirik wajahnya penuh keseganan.
"Kau tak benar-benar sendiri, Za. Masih ada aku, seseorang yang masih mencintaimu seperti dulu," katanya lagi, lalu mendekat ke sisiku. "Maafkan aku yang tak bisa berubah.”
Perlahan kemudian, kujejakkan kakiku beberapa langkah ke belakang. Lalu, kuarahkanlah sisi badanku kepadanya. Kudekati ia, sebagaimana ia mendekatku. Dan, seketika, kami berhadapan di jarak terdekat. “Maafkanlah aku!" kataku, menyesal sedalam-dalamnya. "Ajarilah aku bagaimana cara mencintaimu!”