Kamis, 07 November 2013

Makna Hidup di Balik Perputaran Nasib

Manusia dalam menjalani kehidupan, cenderung menjadikan dirinya sebagai dasar menentukan sikapnya. Sikap yang mendatangkan keuntungan dan bermanfaat bagi dirinya akan dipilih. Memang, tidak ada permasalahan sikap utilitaris itu, selama masih mempertimbangkan dampak terhadap orang lain, terutama untuk meminimalisir kerugian bagi orang lain. Tapi nyatanya, kehidupan hanyalah pertentangan, berujung pada kalah atau menang.
Konsep ini juga dianut kaum komunis dengan paham dialektika kehidupan, yang menganggap hidup selamanya dalam sebuah pertentangan-pertentangan. Sebuah tesa akan berbenturan dengan antitesa, sehingga lahirlah sintesa. Singkatnya, konflik antara dua kepentingan selalu berujung pada tatanan baru. Tapi tatanan itu masih membagi kelompok pemenang di satu pihak, dan kelompok kalah di pihak lain. Kedua pihak itu pada keadaan tertentu akan berkonflik lagi.
Dialektika kehidupan meniscayakan perubahan nasib seseorang secara terus-menerus. Disadari atau tidak, situasi itu mewarnai kehidupan manusia. Tidak hanya dalam aspek material semata, tetapi juga mencakup aspek metafisik. Keniscayaan itu akan menempatkan seseorang dalam salah satu di antara dua tempat; antara kalah dan menang, senang dan sedih, cinta dan benci, kaya dan miskin, dan seterusnya.
Atas dasar kepentingan pribadi, setiap orang akan berusaha memenangkan sebuah kompetisi, kalau tidak, ia akan merelakan kepentingannya dikesampingkan. Contohnya: dalam persaingan kerja. Karena lapangan kerja terbatas, sedangkan pencari kerja melebihi kuota, maka akan ada pemenang dan pecundang. Proses kompetisi itu akan bergulir kembali ketika telah ada pekerja yang pensiun dan meninggal, sehingga butuh angkatan kerja baru. Akhirnya, tercipta lagi pemenang dan pecundang.
Apakah keadaan tersebut bisa dihindari? Sebelum menjawab, kita perlu mengetahui bahwa esensi hidup adalah pergerakan. Tidak ada bantahan bahwa perbedaan makhluk hidup dengan benda mati salah satunya terletak pada pergerakan dari satu posisi ke posisi lain. Benda mati tak punya kehendak untuk menentukan kemana ia harus bergerak. Sebaliknya, manusia dengan indra dan akalnya dapat menentukan sikap apa yang baik dan harus diambil. Kenapa manusia harus bergerak? Jawabannya, karena manusia punya potensi dan dorongan untuk harus bergerak. Selain itu, manusia memiliki kebutuhan matafisik dan material yang menuntutnya selalu bergerak.
Alur ringkas tentang bagaimana kehidupan manusia yaitu dimulai dari keadaan hidup, pergerakan, pertentangan, hingga tercipta sebuah perubahan. Keadaan baru dari perubahan itu akan terus dihiasi lagi dengan pergerakan, hingga tercipta lagi keadaan baru. Begitulah hidup. Jadi, menerima atau tidak, sebagai makhluk hidup, kita berada dalam pergerakan tak henti.
Memilih sikap untuk keluar dari alur pergerakan sebagai manusia hanya berujung pada keburukan dan kerugian besar. Sikap menghindari masalah misalnya, biasanya diwujudkan dengan berdiam diri dan tidak menghiraukan perubahan. Tapi akhirnya, kesadaran memaksa batin kita untuk kembali dalam pergerakan. Namun ketika tersadar, perubahan ternyata tak bisa lagi diimbangi, sedangkan kita tak bisa kembali pada saat kita mulai berdiam. Ujung-ujungnya, penyesalan akan menggerogoti jiwa yang tak mau menerima keadaan buruk, terlebih jika tak ada pergerakan menghadapinya. Tapi sebaliknya, nuansa kehidupan seutuhnya akan menghiasi batin yang selalu menerima dan menjalani kenyataan hidup, meskipun itu buruk.
Argumentasi di atas menimbulkan paradigma bahwa kita hidup dalam “hutan rimba”. Butuh kekuatan dan keganasan untuk menjadi pemenang. Tapi, anggapan tersebut hanya menyinggapi pola pikir empiris, karena menganggap hidup sebatas dialektika material. Namun jika menggunakan analisis metafisik untuk menemukan makna semua keadaan-menembus batas pengindraan-akan ditemukan arti kehidupan sejati.
Sikap bijak terhadap baik-buruknya keadaan yang dialami akan menghindarkan dari kehampaan nilai. Kepekaan memaknai setiap nasib tidak akan membuat batin terperangkap dalam ketidakpastian hidup, melainkan konsisten dalam satu tujuan mulia, menemukan makna hidup sesungguhnya. Jiwa sebagai poros pemaknaan hidup harus selalu dibina agar selalu sadar akan arti kehidupan, sekeras apa pun perubahan fisik/material coba melencengkannya. Kesadaran itu mencakup kesadaran akan ketidakabadian aspek material, kesadaran bahwa jiwalah penentu timbulnya perasaan bahagia, hingga keinsafan bahwa segalanya akan kembali pada Sang Maha Kuasa. Kemampuan jiwa menaklukkan tipuan fisik kelak membentuk seseorang menjadi pribadi yang bijaksana.
Jika dirangkum, maka kemampuan memaknai perubahan nasib secara bijak akan membawa dampak:
1.      Timbulnya kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang abadi, sehingga tak ada alasan mencintai aspek duniawi secara berlebihan;
2.      Kebahagiaan hidup tidak digantungkan pada kepemilikan aspek material, hingga merasa syukur dengan apa yang dimiliki, dan akhirnya bahagia;
3.      Berusaha memaksimalkan lahirnya kebaikan dari bagaimana pun dan seberapa pun  materi yang dimiliki;
4.      Kesabaran akan timbul karena keyakinan bahwa keadaan silih berganti, antara kekurang dan kecukupan, kesakitan dan kesehatan, kesempitan dan kelapangan, dll;
5.      Memiliki sikap optimis karena sadar bahwa hidup adalah pergerakan menuju perubahan, kadang menang, kadang kalah;
6.      Cerdas dalam menelaah fenomena material kehidupan dengan selalu mencari makna tersirat, sehingga mendatangkan kebahagiaan yang tak goyah pada perubahan keadaan;
7.      Merasa ikhlas terhadap hasil ikhtiar, karena tidak menjadikan tujuan akhir sebagai satu-satunya cita, tetapi menghargai proses sebagai pelajaran bermakna.
Melugaskan pentingnya makna hidup, sebuah saduran cerita dalam buku Haidar Bagir berjudul Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan dapat menjadi bahan refleksi:
Suatu ketika, seorang raja pergi berburu dengan pembantunya. Tidak disangka, kaki sang raja tersandung batu dan membuatnya terjatuh. Kejadian itu membuat sebuah jarinya patah. Langsung saja pengawal menolongnya dan memberi nasihat kepada sang raja.
“Sabar Raja. Yakinlah, ada makna di balik kejadian yang menimpa anda,” nasihat sang pembantu.
Bukannya menenangkan batinnya, sang raja egois malah memarahi pembantunya itu. “Beraninya kau berkata begitu kepada aku yang kesakitan”. Bahkan saking kesalnya, ia memenjarakan si pembantu.
Suatu ketika sang raja pergi berburu sendiri, tanpa pembantu. Sialnya, di tengah hutan belantara, suku primitif penghuni hutan menangkapnya untuk dijadikan persembahan kepada dewa mereka. Beruntung saja, tujuan suku primitif kandas setelah mengetahui bahwa sang raja cacat karena jarinya patah. Menurut keyakinan mereka, persembahan kepada dewa tidak boleh orang cacat.
Setelah peristiwa itu, sang raja sangat bersyukur atas jarinya yang  patah, hingga menyesali tindakannya kepada sang pembantu. Langsung saja ia pergi menemui sang pembantu untuk minta maaf, lalu melepaskannya.
“Maafkan aku, karena tidak mendengarkan nasihatmu dulu. Kalau bukan jari patahku, aku pasti sudah mati dijadikan persembahan oleh suku primitif. Jika kau ahli makna, apa makna dari tindakanku memenjarakanmu?” tanya raja.
Sambil tersenyum ia membalas. “Terima kasih raja. Jika saja aku tidak dipenjara dan ikut berburumu, mungkin akulah yang dijadikan persembahan,” balasnya.

“Tak ada kuasa memilih untuk menang atau kalah, lalu kenapa mengutuk nasib? Pahami saja kalau semua memberi arti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar