Minggu, 16 September 2012

Pers Sebagai Lentera Permasalahan Hukum Menuju Perjuangan Mahasiswa Yang Konstitusional

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, ditegasan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Berdasarkan ayat tersebut, Indonesia menganut sistem pembatasan kekuasaan secara konstitusional, sehingga kekuasaan sah haruslah memiliki landasan yuridis. Fungsi negara untuk melindungi segenap bangsa membutuhkan  instrument hukum yang jelas, agar rakyat terhindar dari penindasan penyalahgunaan kekuasaan negara. Kebutuhan warga negara akan perlindungan haknya tidak  mungkin terwujud pada tata kehidupan yang anomi, sehingga dibutuhkan penegasan norma untuk mewujudkan ketertiban hidup. Norma agama, kesusilaan maupun kesopanan sangat sulit dikukuhkan di negara ini,sebab rakyat memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Sadar akan konsep NKRI yang menjunjung tingggi semboyan Bhinneka Tinggal Ika, dibutuhkan keterlibatan negara dengan sifat (memaksa,monopoli dan mencakup semua) yang melekat padanya,untuk mewujudkan norma yang berlaku bagi seluruh warga negara, yaitu norma hukum.

Sistem pemerintahan yang otoriter akan memberikan batasan terhadap kebebasan berekpresi dan rakyat akan diperalat negara oleh alat-alat kekuasaanya. Kebebasan untuk memenuhi hak dan kewajiban harusnya tercipta di dalam kehidupan bernegara yang demokratis, di mana negara hadir sebagai alat penjamin. Supremsi hukum untuk  perlindungan hak asasi manusia (HAM), akan membuat seluruh warga negara bebas berperan aktif dalam pembangunan negara. Di negara hukum, bukanlah negara yang punya kekuasaan, tetapi negara hanya sebagai alat warga negara untuk mewujudkan keadilan HAM mereka, yang kewenangannya pun diberikan oleh hukum. Hal itu juga ditegaskan dalam dalam  UUD 1945 bahwa rakyatlah yang berdaulat berdasarkan hukum. Oleh karena itu, negara tidak punya wewenang untuk mengekang kebebasan warganya,selama sejalan dengan aturan hukum. ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) )

Kemajuan sebuah negara membutuhkan instrumen hukum yang baik dan benar-benar diaplikasikan oleh warganya, bukan  hukum yang tidur. Perkembangan hukum terus-menerus sesuai kebutuhan perkembangan zaman, sehingga dibutuhkan rumusan hukum yang tetap sesuai dengan nilai budaya bangsa, agar rakyat mampu menjiwai dan pengalikasikanya dengan  tulus. Demi terciptanya keadaan tersebut, dibutuhkan adanya sarana komunikasi hukum yang menyebarkan pengetahuan hukum, hingga bermunculan kritik dan saran untuk perumusan hukum yang lebih ideal. Peran inilah yang diemban pers mahasiswa (persma), yaitu sebagai pelopor dan kritikus wacana  hukum secara akademis.

Kehadiran persma harus menjadi lentera permasalahan hukum di negeri ini, bukan sekadar menyampaikan “pelecehan” hukum dan akibatnya, tetapi menelisik akar permasalahan, mengapa pelanggaran hukum dapat terjadi dan apa langkah preventifnya? Berada di lingkungan akademis, dengan pemikir yang bertebaran, harusnya dimanfaatkan untuk mendiskusikan kemudian memberitakan setiap fenomena hukum dengan pendekatan intelektual. Demonstrasi anarkis yang mengedepankan emosi dan berujung pada konflik horizontal, dapat diminimalisir jika optimalisasi peran persma dengan menyediakan ruang aspirasi yang seimbang antara pihak yang bersilang pendapat dalam dimensi vertikal. Ketika penguasa negara acuh tak acuh terhadap permasalahan rakyat, rakyat seharusnya tidak mengutamakan perlawanan fisik  melawan kekuatan senjata negara, tetapi melumpuhkan wewenang yang diberikan hukum kepadanya melalui analisis  hukum, sebab negara kita adalah negara hukum.

Pada awalnya, Indische Vereeniging sebagai cikal-bakal pers yang dibentuk tahun 1908 oleh pelajar indonesia di Belanda, bertujuan  menciptakan kesadaran dan semangat perjuangan bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialis. Pasca kemerdekaan, persma berfungsi sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dalam memperbaiki tatanan kehidupan bernegara. Sebagai agen perubahan,persma diharapkan mampu memberitakan persoalan  faktual dan aktual  dalam kehidupan berbangsa, sehingga masyarakat berpikir dan merespons untuk menuju perubahan yang lebih baik. Jadi dalam hal ini, persma menjadi “penggali” informasi permasalahan hukum yang terkadang tertutupi atau kurang dilirik, namun sangat berpengaruh secara luas. Sebagai agen kontrol sosial, persma berusaha mengawal jalannya pemerintahan, kemudian mempertanyakan dan menginformasikan apabila ada kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan atau kehendak rakyat, sehingga pihak yang berwenang beserta masyarakat tersadar untuk ikut serta dalam mengawal kebijakan pada jalur yang benar.

Terpadunya kekuatan pers dan  mahasiswa dalam persma memberikan jaminan bahwa persma tidak hanya menitipberatkan aspek kuantitas penyampaian informasi, tetapi menyediakan pengetahuan yang betul-betul mendalam terhadap permasalahan kehidupan bernegara. Mahasiswa yang dipandang sebagai gelar tertinggi pencari ilmu, tidak seharusnya menumpuk ilmunya untuk kepentingan pribadi semata, dan melupakan tanggung jawab pengabdiannya kepada masyarakat, melainkan mengaplikasikan itu dalam kehidupan bermasyarakat. Pers sebagai wadah berpendapat tanpa diskriminasi dalam melakukan pressure kebijakan pemerintah, harusnya dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menyampaikan ide-ide cemerlangnya, sehingga yang diserap oleh masyarakat bukan hanya kesemrawutan hukum semata, tetapi disertai solusi perbaikan.

Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999  tentang Pers menyatakan fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Hal itu menegaskan pentingnya pers sebagai samudera wawasan dan hiburan yang bermanfaat bagi masyarakat, serta pengendali terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate), sebab pers memiliki kewenangan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan negara oleh tiga pilar demokrasi yang lain (legislative, eksekutif, dan yudikatif). Tanpa pers, dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya pengabaian terhadap asas-asas demokrasi.

Dalam mencapai tujuan persma sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, harus tercipta kondisi persma yang independen. Kekhawatiran akan aib, membuat individu dan kelompok menganggap pers sebagai musuh yang perlu untuk dijinakkan, sehingga kezalimannya pun tertutupi dengan narasi pers yang “menjilat”. Semakin gencar pengaruh untuk menghancurkan ideologi persma, harusnya dianggap sebagai bukti bahwa pers masih ditakuti, bukannya rela menjadi budak para penguasa dan pengusaha. Pers yang bertugas bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak akan kokoh dengan topangan rakyat yang merasa pemberitaan persma merupakan hal yang baik untuk perkembangan bangsa. Ideologi kerakyatan yang mengilhami tindakan persma, harusnya memberikan semangat untuk terus mengkritisi kebijakan birokrat yang menindas rakyat atas nama hukum, sebab hukum diciptakan untuk rakyat. Permasalahan klasik persma adalah keterbatasan dana untuk melakukan aktivitasnya, hingga mengharuskannya terikat dengan sumber-sumber pendanaan yang memberikan implikasi psikologis bahwa persma harus “berterima kasih”. Selain itu, keberadaan persma sebagai unit kegiatan maasiswa yang dibawahi oleh lembaga perguruan tinggi, membuatnya penuh dengan kontrol yang  menumpulkan kekritisan informasinya.

Dalam kehidupan akademis kritikan dan saran dinggap sebagai anugerah. Sebab itu, harus tercipta independensi persma demi transparansi untuk perubahan menuju kehidupan bernegara yang konstutusional. Perguruan tinggi sebagai replika kehidupan berbangsa yang menjunjung kebebasan perpendapat, haruslah membuat persma bebas menyebarkan informasi, sehingga mahasiswa yang intelektual tidak sekadar merumuskan konsep, tetapi menyarankan konsep tatanan negara hukum yang ideal melalui persma, atau setidaknya saran perbaikan untuk institusi pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kebijakan untuk membuat persma independen. Jalannya bisa dengan memutuskan ikatan pendanaan dengan institusi yang termasuk ruang ligkup pemberitaannya  dan mencari sumber pendanaan yang tidak berpengaruh terhadap pemberitaan, menciptakan persma yang terlepas dari kontrol institusi pendidikan melalui kesepakatan dengan birokrat untuk independensi persma, ataupun menguatkan lembaga persma lingkup nasional untuk mendiri dalam segala aspek. Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka.

Mahfud MD Berorasi Di Unhas

Dalam rangkaian acara Dies Natalis ke-56 Unhas bertema: “Mewujudkan Sivitas Akademika Unhas Yang Berkarakter Manusiawi, Arif, Religius, Tangguh, Inovatif, Dan Mandiri (MARITIM) Menuju Universitas Kelas Dunia”, yang dilaksanakan Baruga A.P Pettarani, Selasa (10/09), turut hadir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Dalam acara tersebut, Mahfud MD berkesempatan menyampaikan orasi ilmiahnya. Di hadapan para wisudawan, dan beberapa pejabat pemerintahan, di antaranya Gubernur Sulawesi Selatan, Panglima Kodam VII, serta Wakapolri Sulawesi Selatan, Mahfud menyatakan beberapa realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang. Dalam durasi sekitar pukul 10.10-10.55 Wita, dia memaparkan pemasalahan mengenai pendidikan, politik, hukum, dan ekonomi.

Menyinggung mengenai dunia pendidikan di Indonesia, Mahfud merasa prihatin terhadap masih banyaknya lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aset negara malah menjadi beban negara. Di antara beberapa penyebab yang ia ungkapkan adalah para mahasiswa mulai larut dalam hedonisme. Praktik jual-beli gelar dan ijazah yang masih terjadi, juga menjadi keprihatinannya. Menurutnya, hal itu tejadi karena gelar dan ijazah merupakan syarat formal bagi seseorang menduduki jabatan struktural publik. Selain itu, kultur masyarakat yang memandang status sosial seseorang berdasarkan gelar akademik juga menjadi pendorong. Kenyataan dalam dinamika kehidupan sekarang, menurutnya, meskipun seseorang mempunyai kapabilitas, tapi dia akan dikesampingkan karena tidak memenuhi syarat formal, walau gelar dan ijazah tidak menjamin kapabilitas seseorang.

Tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengandung makna membentuk pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan budi pekerti yang baik. Perubahan kata ‘pengajaran’ menjadi ‘pendidikan’ dalam Pasal 31 UUD 1945, mengandung makna bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, tidak hanya melakukan pengajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan otak, tetapi menyelenggarakan pendidikan yang berarti menciptakan bangsa yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang mulia. Bagi Mahfud, perguruan tinggi harusnya menetak cendekiawan, bukan mencetak sarjana belaka. Dia mengartikan sarjana sebagai lulusan dalam strata tertentu yang hanya mengasah kecerdasan, rasionalitas dan logika saja. Sedangkan seorang cendekiawan menyertakannya dengan moralitas yang baik.

Mengenai politik yang seyogianya  menjujung asas demokrasi, kini mulai tergerus oleh praktik-praktik oligarkis, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan kepentingan diantara elit-elit politik, tanpa mempedulikan aspirasi rakyat. Hal itu ditegaskan Mahfud, bahwa politik sudah lepas dari etika. Banyaknya regulasi yang diputuskan secara oligarkis, memunculkan banyak penolakan sosial (demonstrasi) dan penolakan konstutusional (judicial review) . Terbukti, sejak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah membatalkan 140 gugatan judicial review.

Keadaan rakyat yang masih jauh dari kesejahteraan,  merupakan akibat dari menyelewengan konsep ekonomi kerakyatan yang diamanatkan UUD 1945. Perlahan bangsa Indonesia sisusupi paham neoliberalisme. Menurut Mahfud, realita kesenjangan sosial, sudah dapat menegaskan hal tersebut.

Mengenai permasalahan hukum yang marak diperbincangkan, Mahfud memandang itu terjadi karena adanya kesenjangan etika dengan normatif hukum. Para praktisi hukum yang kurang bermoral, menjadikan hukum bukan untuk mencari kebenaran, tetapi berusahan mencari kemenangan. Bahkan Mahfud sempat menyatakan bahwa karut-marut hukum yang terjadi sekarang tidak seharusnya hanya dipersalahkan kepada hakim dan jaksa, tetapi juga kepada para pengacara yang terkadang terkadang “membelokkan” tafsir hukum. Pengacara dengan kepentingan tertentu, sering menafsirkan hukum bukan berdasarkan keadilan dan memperdebatkan tafsir hukum secara tekstual, tanpa memandang hukum secara konprehensif.

Di akhir orasinya, Mahfud kembali menyinggung masalah pendidikan dan mengharapkan perguruan tinggi melakukan pembinaan berdasarkan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Bagi Mahfud, IPTEKS dan agama merupakan dua hal yang penting dan tidak boleh dipisahkan dalam menyelenggarakan pendidikan, sehingga terbina penerus bangsa yang unggul. Kembali, Mahfud menyatakan bahwa sebuah perguruan tinggi harus berdasarkan beberapa nilai dalam “mencetak” sarjana, yaitu: (1). Mengintegrasikan ilmu dengan iman, (2). Mengembangkan mutu rasionalitas, tetapi tidak tunduk pada rasionalisme (paham yang menganggap kebenaran hanya yang dapat dianalisis secara empiris-ilmiah) yang bisa mengesampingkan agama, (3). Ilmu pengetahuan harus memihak pada kepentingan dan kebutuhan manusia, dan tidak boleh bebas nilai.

Sebelum mengakhiri orasinya, Mahfud menyampaikan syarat untuk majunya sebuah perguruan tinggi yaitu, (1). Memiliki norma akademik dan aturan formal pendidikan, (2). Mengembangkan tradisi akademik seperti diskusi, seminar dan karya ilmiah, dan  (3). Tersedianya sarana dan prasarana untuk penunjang kegiatan ekstrakurikuler para mahasiswa.

Menyelisik Permasalahan Etnis Rohingnya

LP2KI (Lembaga Penulisan dan Penalaran Karya ILmiah)  sebagai salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa ) di FH-UH (Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), menunjukkan peran aktifnya dalam mengembangkan suasana keilmuan dengan mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Selasa  (12/09), dimulai pukul 10.30 WITA, dan berakhir sekitar pukul 12.50 WITA.  Permasalahan yang dihadapi oleh etnis Rohingnya di Myanmar  tahun ini manjadi pokok pembahasan, yang terelaborasi dari  tema  ”Peran Indonesia Pada Penyelesaian Konflik Rohingnya”. Diskusi  tersebut dihadiri kurang lebih empat puluh  orang, yang berasal dari perwakilan UKM lingkup FH-UH.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, Komaruddin S.H, DFM,  alumni FH-UH, yang memaparkan sejarah singkat mengenai keberadan etnis Rohingnya di Myanmar, serta keadaan yang mereka alami. Berdasarkan pemeparannya, Etnis Rohingnya merupakan pengungsi dari Arab yang memasuki Nagara Myanmar secara illegal, sehingga ia pun tidak diakui sebagai warga Nagara. Akibat ketidakpastian memperoleh status kewarganagaraan di nagara rezim junta militer tersebut, yang berimlikasi pada tidak dipenuhinya hak-hak asasi  mereka oleh nagara, banyak di antara etnis Rohingnya  yang akhirnya berusaha keluar dari negara Myanmar. Pada bulan Januari dan Februari 2009, mereka keluar menuju negara yang bisa memberikan kehidupan yang layak, misalnya Australia. Namun dalam perjalanan, banyak di antara mereka terdampar di beberapa negara tetangga Myanmar, seperti Pakistan, Thailand,  bahkan di Indonesia, khususnya di Aceh.  Namun di beberapa negara, misalnya di Thailand dengan pemerintahan junta militernya, ternyata tidak “ramah” terhadap mereka, bahkan kapal yang mereka tumpangi ditembaki oleh militer saat memasuki perairan Thailand.
Melihat kejadian itu, sebenarnya Thailand dapat dinyatakan melanggar  prinsip  non-revolvement, yang juga menjadi kebiasaan dan sumber hukum internasional. Makna prinsip ini sendiri di antaranya:
1.    Setiap nagara dilarang mengusir pengungsi yang masuk di wilayahnya;
2.  Setiap negara tidak boleh mengembalikan pengungsi ke negara asalnya dengan paksa.
Di sela-sela perkuliahan, dengan mata kuliah Hukum Internasional, pada hari Jumat (14/09), salah satu dosen FH-UH menyatakan bahwa tidak ada imlikasi hukum internasional terhadap sikap Thailand tersebut, karena Thailand belum meratifikasi Konvensi 51 tentang pengungsi. Tindakan terhadap pelanggaran HAM internasional seharusnya dapat diganjar berdasarkan Statuta Roma, namun tentu saja, seperti lazimnya kesepakatan internasional, aturan hanya mengikat bagi nagara yang telah meratifikasi aturan internasional tersebut. Indonesia sampai sekarang  pun belum merativikasi konvensi 51  dan Statuta Roma  sehingga tidak ada kewajiban bagi nagara Indonesia untuk memperlakukan para pengungsi sesuai amanat konvensi tersebut. Meskipun demikian, Indonesia sebagai nagara yang menghormati hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, tetap mengambil sikap yang bijak kepada para pengungsi, bahkan itu menjadi sebuah kebiasaan.
Pada April 2009, diselenggarakan KTT ASEAN yang turut dibahas mengenai pengungsi Rohingnya. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pada Mei 2010, diadakan pertemuan di Bali yang melahikan kesepakatan Bali Process. Isi dari kesepakatan tersebut adalah:
1.   Myanmar tidak mengkui etnis Rohingnya (sebagai warganagara);
2.   Indonesia bersedia menampung para pengungsi Rohingnya untuk sementara (negara transit);
3.  Australia bersedia menerima para pengungsi Rohingnya, asalkan dokumen dan persyaratan imigrasi terpenuhi;
4.   Pengungsi yang diterima Australia, hanya yang mendapat status pengungsi dari UNHCR.
Dalam sesi tanya-jawab, Salah seorang peserta mempertanyakan, keadaan statelesss person (orang tanpa kewarganagaraan) etnis Rohingnya, yang jika menelisik sejarah, mereka telah ada di Myanmar sebelum nagara tersebut merdeka. Menjawab pertanyaan tersebut, pembicara kedua, seorang mahasiswi FH-UH angkatan 2009, Iona Hiroshi Yuki Rombot menyatakan bahwa itu bukanlah ukuran, dan bisa dianalogikan ketika dahulu, status kewarganagaraan etnis Tionghoa tidak diakui di Indonesia, meskipun akhirnya diakui. Salah satu peserta lainnya mempertanyakan mengenai ketidaktegasan para negara lain untuk menuntut pelanggaran HAM yang jelas dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar ke pengadilan HAM Internasional (ICC). Menanggapi pertanyaan tersebut, pemeteri menyatakan bahwa hal itu harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya didukung oleh beberapa negara, memenuhi persyaratan dan melalui mekanisme sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma, melalui persetujuan PBB, dan adanya subjek (orang) yang dianggap bertanggungjawahb terhadap pelanggaran HAM tersebut.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN yang bertujuan untuk memajukan nagara dan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sudah seharusnya memanfaatkan kedudukannya untuk menjadi mediator dalam mengupayakan rekonsiliasi antara etnis Rohingnya dengan pemerintah Myanmar, bukan sekadar menampung ataupun mencari negara yang bersedia menerima mereka. Selain itu, politik bebas aktif yang telah ditanamkan oleh founding father, dapat menjadi acuan dalam hal menyikapi peristiwa-peristiwa kemanusiaan internasional, sehingga amanat UUD 1945 “….ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bersasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi....”,  tidak sekadar dituliskan.

Senin, 10 September 2012

Menuntut Hak, Jangan Melanggar Hak!

Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat tatanan struktur sosial yang menempatkan posisi setiap orang pada posisi tertentu, sesuai dengan jabatan yang diduduki. Untuk percepatan pembangunan, harusnya keinginan petinggi dengan bawahan, ataupun pemerintah dengan rakyat harus sejalan, yaitu ketika kebijakan pemerintah sejalan dengan hati nurani rakyat, sehingga kebijakan itu pun terlaksana dengan baik. Kenyataannya sekarang, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dirumuskan sesuai keinginan rakyat, hal itulah yang menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Manusia diciptakan dengan kemampuan berkomunikasi oleh Tuhan, bahkan itu pun dijamin kebebasannya oleh sebagian besar manusia di dalam zaman yang terus menuju kepada penghormatan pada asas demokrasi seutuhnya. Jaminan oleh konstitusi memberikan perlindungan kepada seluruh lapisan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya, terlebih ketika hal yang diungkapkan bertentangan dengan kezaliman penguasa, ditakutkan jika rakyat yang lemah ditindas oleh penguasa negara dengan kekuatan senjatanya. Koreksi kebijakan untuk pembangunan yang lebih baik memang anugrah bagi pemerintah yang punya keinginan untuk membangun kehidupan berbangsa, tapi ketika ego kekuasaan yang merajai,mereka, terkadang mereka malah “kepanasan” dan tak acuh terhadap tuntutan rakyat.

Kebebasan harusnya berbatas, sehingga tidak terjadi persinggungan hak antar individu. Masyarakat yang ingin mengkritik kebijakan pemerintah diharapkan mampu menyampaikannya dengan cara yang benar menurut hukum, sebab telah banyak aturan formal yang mengatur tata cara penyampaian pendapat secara beradab. Tapi seringkali masyarakat letih menunggu balasan surat dan suara dari penguasa atas tidak adanya perubahan positif yang nyata, sedang janji-janji manis terus saja bertumpuk. Ketika keinginan rakyat tidak dihiraukan seperti demikian, maka terjadilah luapan emosi yang terwujud melalui tindakan anarkistis para demonstran yang mengatasnamakan demokrasi untuk mendapatkan perhatian pemerintah melalui media massa.

Pengerusakan fasilitas umum yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akrab mewarnai  aksi unjuk rasa di media massa. Banyaknya waktu dan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan terkadang tidak dihiraukan, sampai pembangunan pun harus bongkar-pasang. Harapan untuk peningkatan pembangunan pun tersendat karena waktu dan dana yang ada, dialokasikan untuk rekonstruksi pembangunan, hingga membuka keran kucuran dana yang dapat dimanfaatkan birokrasi untuk mencuri uang. Setidaknya masyarakat harus menyadari bahwa bencinya kepada oknum pejabat, tak seharusnya berujung pada kebencian jabatan dan pengerusakan fasilitas jabatan, karena masa tugas pejabat berbatas waktu, sedangkan jabatan beserta fasiltasnya digunakan secara berkesinambungan. Tindakan yang sebaiknya dilakukan dalam kehidupan berdemokrasi adalah cerdas dalam memilih perwakilan rakyat dalam pemerintahan, dan tidak mudah terbuai dengan tawaran materi ataupun program yang sempurna, tapi realisasinya mustahil. Dan hal itu hanya terjadi jika masyarakat memiliki pendidikan politik yang mapan. Namun melihat sikap kebodohan kini, nyatalah bahwa kebebasan yang berdasarkan emosi belaka, dan tidak berlandaskan intelegensi, akan merugikan masyarakat secara berlipat ganda.

Indonesia memang negara dengan keragaman nonmaterial seperti budaya. Namun keragaman itu juga yang terkadang menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan suku, ras, dan agama. Memang sulit menciptakan harmoni kehidupan dalam beragamnya keinginan yang butuh dilayani, sedangkan pelayannya hanya segelintir. Di sinilah peran pemerntah, yakni memberikan keadilan pelayanan, sehingga rakyat tetap merasa mendapatkan haknya masing-masing, tanpa adanya perbedaan perlakuan karena perbedaan identitas tertentu. Keadilan merupakan akar dari kedamaian, dengan ego pribadi ataupun golongan yang mengesampingkan persamaan hak, konflik akan terus berlangsung. Demontrasi yang berlangsung merupakan tuntutan keadilan orang-orang yang merasa haknya dilanggar, ketika telinga para penguasa tertutup oleh kebekuan hatinya, rakyat akan menyentak dengan tindakan anarkistisnya. Untuk mencapai kehidupan bernegara yang maju, seyogianya pemerintah harus kembali kapada hakikat fungsinya, yaitu mengayomi seluruh rakyat dengan seadil-adilnya.

Demontrasi anarkis merupakan akibat dari masalah vertikal, tapi selalu saja berwujud pada konflik horizontal. Ketidakcerdasan para demonstran dalam menyuarakan aspirasinya, tampak dengan kegiatan unjuk rasa yang tidak mencerahkan permasalahan, salah sasaran, dan tidak pada tempatnya. Banyak terdapat oknum demonstran yang tidak paham dengan permasalahan yang sedang dituntut, sehingga mereka hanya sekadar ikut-ikutan, bahkan sekadar hadir untuk menyulut emosi para demonstran lain. Demonstrasi terkadang hanya berujung bada “gertakan sambal” bahkan pengerusakan, tanpan memberikan usul perbaikan atas kebijakan yang salah. Emosi para demonstran seringkali diluapkan di tempat umum, di mana banyak masyarakat yang punya kepentingan atas fasilitas tersebut, tanpa berpikir untuk berorasi di tempat para pengambil kebijakan. Hal itulah yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman, hingga bentrok antaranggota masyarakat.

Indonesia punya potensi untuk maju, namun hal itu harus ditunjang oleh kecerdasan hukum dan politik, sehingga pembangunan fisik memiliki tujuan yang jelas. Pun, pemerintah yang cerdas juga perlu dihadirkan untuk mengakhiri perdebatan kosong yang bak memperdebatkan tentang warna gelas yang sebaiknya digunakan untuk minum, padahal kepentingan yang utama adalah minum. Indonesia butuh pemimpin yang amanah, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadinya. Namun realitanya, berbangsa ini berjalan tanpa arah. Masih banyak rakyat yang tidak menyadari posisinya sebagai bagian dari seluruh warga NKRI, sebab mereka tidak diayomi secara baik. Karena itu, menuntut hak adalah sesuatu yang sangat wajar dan seharusnya. Tapi menuntut hak dan keadilan, tidak boleh dengan menghalalkan cara-cara primitif yang malah merugikan masyarakat sendiri. Demonstrasi yang dilakukan tentu ditujukan untuk menciptakan perubahan, tapi haruslah dilakukan dengan sokongan hasil kajian yang kritis terhadap permasalahan, sesuai dengan nasihat,”berfikirlah sebelum bicara.”